-->

Tuesday, January 13, 2015

Laporan Protein

LAPORAN PRAKTIKUM EVALUASI GIZI

ACARA II
PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP PROTEIN



ROMBONGAN 1
KELOMPOK 3


Oleh :
Fika Puspita               A1M012001
Halim Zulfakar          A1M012018




KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2014



I.                   PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fosfor, belerang, dan ada jenis protein yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga. Protein digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan enegi dalam tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein ikut pula mengatur berbagai proses tubuh, baik langsung maupun tidak langsung dengan membentuk zat-zat pengatur proses dalam tubuh. Protein mengatur keseimbangan cairan dalam jaringan dan pembuluh darah. Sifat amfoter protein yang dapat bereaksi dengan asam dan basa dapat mengatur keseimbangan asam-basa dalam tubuh (Winarno, 1990).
Penetapan protein secara akurat merupakan pekerjaan yang sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah protein membentuk grup yang sangat beragam dan luar biasa kompleksnya baik dalam komposisi maupun dalam sifat sehingga sulit untuk memisahkan, memurnikan atau mengekstrak, sifat amfoterik dari protein, kemampuan mengabsorbsi yang tinggi, dan sensitifitas terhadap elektrolit, panas, pH, dan pelarut. Oleh karena itu analisa protein dalam makanan pada umumnya lebih kepada kadar total protein dan bukan pada kadar protein tertentu (Anwar & Sulaeman 1992).
Kadar protein yang terkandung dalam setiap bahan berbeda-beda. Karena itu, pengukuran kadar protein suatu bahan sangat diperlukan. Secara umum analisa protein dapat dilakukan dengan berbagai metode, yaitu metode Kjeldahl, metode Biuret, dan metode Lowry. Penentuan konsentrasi protein merupakan suatu proses yang rutin dilakukan dalamanalisis biokimia. Pilihan metode yang baik dan tepat untuk suatu pengukuran tergantung pada beberapa faktor yaitu benyaknya material atau sampel yang tersedia, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pengukuran, serta alat spektrofotometer yang tersedia (spektrofotometer Vis atau UV) (Tika,2007). Pada praktikum kali ini analisa protein dilakukan dengan metode Lowry.

B.       Tujuan
Mengetahui pengaruh cara pengolahan terhadap perubahan kadar protein terlarut bahan pangan.




II.                TINJAUAN PUSTAKA
Protein
Kata protein berasal dari kata protos atau proteos yang berarti pertama atau utama. Protein merupakan komponen penting sel hewan atau manusia sehingga fungsi utama protein yaitu sebagai zat pembentukan dan pertumbuhan tubuh. Protein adalah komponen yang terdiri atas atom karbon, hydrogen, oksigen, nitrogen, dan beberapa ada yang mengandung sulfur dan fosfor. Tersusun dari serangkaian asam amino dengan berat molekul yang relatif sangat besar, yaitu berkisar 8.000 sampai 10.000. Protein yang tersusun dari hanya asam amino disebut protein sederhana. Adapun protein yang mengandung bahan selain asam amino, seperti turunan vitamin, lemak, dan karbohidrat, disebut protein kompleks. Secara biokimiawi, 20% dari susunan tubuh orang dewasa terdiri dari protein. Kualitas protein ditentukan oleh jumlah den jenis asam aminonya (Devi, 2010).
Protein sangat berperan penting dalam proses tubuh. Proses kimia tubuh dapat berlangsung dengan baik karena adanya enzim, suatu protein yang berfungsi sebagai biokatalis. Di samping itu, hemoglobin dalam butir-butir darah merah (eritrosit) yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh adalah suatu jenis protein. Demikian juga zat-zat yang berperan untuk melawan bakteri atau yang biasa disebut antigen juga suatu protein. Protein merupakan jenis zat gizi yang diperlukan tubuh untuk menggantikan sel-sel yang rusak dan juga untuk pertumbuhan. Kita memperoleh protein dari makanan yang berasal dari hewan ataupun tumbuhan. Protein yang berasal dari hewan disebut protein hewani, sedangkan yang berasal dari tumbuhan disebut protein nabati. Beberapa makanan sumber protein adalah daging, telur, susu, ikan, beras, kacang, kedelai, gandum, jagung, dan buah-buahan.
Protein murni tidak berwarna dan tidak berbau. Jika protein tersebut dipanaskan, warnanya berubah menjadi coklat dan baunya seperti bau bulu atau bau rambut terbakar. Keratin misalnya, yaitu protein yang monomernya banyak mengandung asam amino sistein. Jika keratin dibakar, timbul bau yang tidak enak. Protein alam yang murni juga tidak memiliki rasa, tetapi hasil hidrolisis protein, yaitu proteosa, pepton, dan peptida, mempunyai rasa pahit. Pada umumnya, protein terdapat dalam bentuk amorf dan hanya sedikit sekali yang terdapat dalam bentuk Kristal. Protein nabati umumnya lebih mudah membentuk Kristal dibandingkan dengan protein hewani. Protein hewani seperti hemoglobin mudah membentuk suatu Kristal, sedangkan albumin sukar. Kandungan protein pada setiap bahan berbeda-beda. Beberapa protein enzim, seperti tripsin, pepsin, urease, dan katalase juga dapat membentuk Kristal (Sumardjo, 2008).

Tempe
Tempe adalah salah satu produk pangan di Indonesia yang proses pembuatannya dengan cara memfermentasi kacang kedelai atau kacang-kacangan lainnya oleh kapang Rhizopus oligosporus. Tempe merupakan sumber protein nabati yang mempunyai nilai gizi yang tinggi daripada bahan dasarnya. Tempe dibuat dengan cara fermentasi, yaitu dengan menumbuhkan kapang Rhizopus oryzae pada kedelai matang yang telah dilepaskan kulitnya. Inkubasi / fermentasi dilakukan pada suhu 25˚-37˚C selama 36-48 jam. Selama inkubasi terjadi proses fermentasi yang menyebabkan perubahan komponen-komponen dalam biji kedelai. Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk inkubasi kedelai adalah kelembaban, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan jamur (Hidayat, dkk. 2006).
Tempe mempunyai nilai gizi yang tinggi. Tempe dapat diperhitungkan sebagai sumber makanan yang baik gizinya karena memiliki kandungan protein, karbohidrat, asam lemak esensial, vitamin, dan mineral. Gizi utama yang hendak diambil dari tempe adalah proteinnya karena besarnya kandungan asam amino. Kadar protein dalam tempe 18,3 gram per 100 gram. Tempe juga mengandung beberapa asam amino yang dibutuhkan tubuh manusia.



Secara  umum komposisi zat gizi kedelai kuning kering dan tempe dapat dilihat pada tabel berikut:
Sumber : Santoso, 1993

Daging Ayam
Daging ayam merupakan salah satu bahan makanan utama mayoritas masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena harga daging ayam dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Daging ayam mengandung protein yang tinggi serta berlemak rendah. Murtidjo (2003) memaparkan bahwa daging ayam juga memiliki tekstur yang lebih halus dan lebih lunak jika dibandingkan dengan daging sapi dan ternak lain sehingga lebih mudah dicerna.Namun, sebelum mendapatkan mutu daging ayam yang baik dan layak untuk dimakan oleh masyarakat, perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi mutu daging ayam tersebut. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam budidaya ayam pedaging komersil diantaranya pengelolaan pemeliharaan, pemberian pakan, pencegahan dan penanggulangan terhadap penyakit, pengangkutan, pemotongan, dan faktor-faktor lain. Nilai gizi serta komposisi asam amino pada daging ayam dapat dilihat pada tabel berikut:
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1972).
Ikan
Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang mengandung berbagai macam zat, selain harga yang umumnya lebih murah, absorpsi protein ikan lebih tinggi dibandingkan dengan produk hewani lain seperti daging sapi dan ayam, karena daging ikan mempunyai serat-serat protein lebih pendek dari pada serat-serat protein daging sapi atau ayam. Jenisnya pun sangat beragam dan mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya adalah mengandung omega 3 dan omega 6, dan kelengkapan komposisi asam amino.
Ikan merupakan bahan pangan yang sangat baik mutu gizinya, karena mengandung kurang lebih 18 gram protein untuk setiap 100 gram ikan segar. Sedangkan ikan yang telah dikeringkan dapat mencapai kadar protein 40 gram dalam 100 gram ikan kering. Didukung dengan Astawan (2004), dibandingkan dengan bahan makanan lainnya, ikan mengandung asam amino essensial yang lengkap dan sangat diperlukan oleh tubuh manusia, oleh karena itu mutu protein ikan sebanding dengan mutu protein daging.
Ikan adalah bahan pangan yang mengandung protein tinggi, yang sangat dibutuhkan oleh manusia karena selain mudah dicerna, juga mengandung asam amino dengan pola yang hampir sama dengan asam amino yang terdapat dalam tubuh manusia (Suhartini dan Hidayat, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian, daging ikan memiliki komposisi kimia, yaitu :
Sumber : (Suhartini dan Hidayat, 2005).

Metode Lowry
Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode Biuret. Dalam metode ini terlibat 2 reaksi. Awalnya, kompleks Cu(II)-protein akan terbentuk sebagaimana metode biuret, yang dalam suasana alkalis Cu(II) akan tereduksi menjadi Cu(I). Ion Cu+ kemudian akan mereduksi reagen Folin-Ciocalteu, kompleks phosphomolibdat-phosphotungstat, menghasilkan heteropoly-molybdenum blue akibat reaksi oksidasi gugus aromatik (rantai samping asam amino) terkatalis Cu, yang memberikan warna biru intensif yang dapat dideteksi secara kolorimetri. Kekuatan warna biru terutama bergantung pada kandungan residu tryptophan dan tyrosine-nya. Keuntungan metode Lowry adalah lebih sensitif (100 kali) daripada metode Biuret sehingga memerlukan sampel protein yang lebih sedikit. Batas deteksinya berkisar pada konsentrasi 0.01 mg/mL. Namun metode Lowry lebih banyak interferensinya akibat kesensitifannya (Lowry, dkk, 1951).
Beberapa zat yang bisa mengganggu penetapan kadar protein dengan metode Lowry ini, diantaranya buffer, asam nuklet, gula atau karbohidrat, deterjen, gliserol, Tricine, EDTA, Tris, senyawa-senyawa kalium, sulfhidril, disulfida, fenolat, asam urat, guanin, xanthine, magnesium, dan kalsium. Interferensi agen-agen ini dapat diminimalkan dengan menghilangkan interferensi tersebut. Oleh karena itu dianjurkan untuk menggunakan blanko untuk mengkoreksi absorbansi. Interferensi yang disebabkan oleh deterjen, sukrosa dan EDTA dapat dieliminasi dengan penambahan SDS atau melakukan preparasi sampel dengan pengendapan protein (Lowry dkk 1951).
Metode Lowry-Folin hanya dapat mengukur molekul peptida pendek dan tidak dapat mengukur molekul peptida panjang. Prinsip kerja metode Lowry adalah reduksi Cu2+ (reagen Lowry B) menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan, dan sistein yang terdapat dalam protein. Ion Cu+ bersama dengan fosfotungstat dan fosfomolibdat (reagen Lowry E) membentuk warna biru, sehingga dapat menyerap cahaya (Lowry dkk 1951).




III.             METODE PRAKTIKUM
A.      Alat dan Bahan
Alat     :
-          Erlenmeyer
-          Shaker
-          Spektrofotometer
-          Sentrifuse
-          Labu ukur
-          Tabung reaksi
-          Tissue
-          Aluminium foil
-          Pipet ukur
-          Filler

Bahan    :
-          Ayam
-          Tempe
-          Ikan
-          BSA
-          Lowry A
-          Lowry B
-          Akuades



                                                                 
Penyiapan Sampel
IV. Hasil dan Pembahasan
A.      Hasil Pengamatan
1.      Kurva Standar
Konsentrasi
Absorbansi
0
0
0,2
0,245
0,4
0,451
0,6
0,593
0,8
0,868
1,0
0,998

Y = 0,998x + 0,026
 
2.      Sampel
Perlakuan
Sampel
Penambahan
Berat awal(gram)
Absorbansi
Digoreng
Ayam
Gula
5,31
0,075
Tanpa gula
5,48
0,412
Ikan
Gula
5,58
0,071
Tanpa gula
5,23
0,407
Tempe
Gula
5,76
0,077
Tanpa gula
5,10
0,405
Dioven(dipanggang)
Ayam
Gula
5,30
0,070
Tanpa gula
5,61
0,334
Ikan
Gula
5,32
0,072
Tanpa gula
5,30
0,331
Tempe
Gula
5,63
0,075
Tanpa gula
5,55
0,664


3.      Konsentrasi dan Kandungan protein sampel
Perlakuan
Sampel
Penambahan
Konsentrasi protein(%)
Kandungan protein(% bb)
Digoreng
Ayam
Gula
0,05
0,94
Tanpa gula
0,386
0,070
Ikan
Gula
0,045
0,808
Tanpa gula
0,35
0,073
Tempe
Gula
0,049
0,87
Tanpa gula
0,64
0,115
Dioven(dipanggang)
Ayam
Gula
0,044
0,83
Tanpa gula
0,308
0,054
Ikan
Gula
0,046
0,86
Tanpa gula
0,305
0,057
Tempe
Gula
0,051
0,887
Tanpa gula
0,38
0,0745





4.      Perhitungan
Y = 0,998x + 0,026
Kandungan protein =  x 100%
Fp dengan gula    = 1000 x
Fp tanpa gula      = 10 x


A.    Ayam goreng dengan penambahan gula
1.      Konsentrasi protein ayam
0,075 = 0,998x + 0,026
x =
x = 0,05
2.      Kamdungan protein
=  x 100%
= 0,94%
B.     Ayam goreng tanpa penambahan gula
1.      Konsentrasi protein ayam
0,412 = 0,998x + 0,026
x =
x = 0,386
2.      Kamdungan protein
=  x 100%
= 0,070%
C.     Ikan goreng dengan penambahan gula
1.      Konsentrasi protein ikan
0,071 = 0,998x + 0,026
x =
x = 0,045
2.      Kandungan protein ikan
=  x 100%
= 0,808%
D.    Ikan goreng tanpa penambahan gula

1.      Konsentrasi protein ikan
0,407= 0,998x + 0,026
x =
x = 0,35
2.      Kandungan protein ikan
=  x 100%
= 0,073%
E.     Tempe goreng dengan penambahan gula
1.      Konsentrasi protein tempe
0,077 = 0,998x + 0,026
x =
x = 0,051
2.      Kandungan protein tempe
=  x 100%
= 0,887%
F.      Tempe goreng tanpa penambahan gula
1.      Konsentrasi protein ikan
0,405 = 0,998x + 0,026
x =
x = 0,38
2.      Kandungan protein ikan
=  x 100%
= 0,0745%
G.    Ayam dioven dengan penambahan gula
1.      Konsentrasi protein ayam
0,070= 0,998x + 0,026
x =
x = 0,044
2.      Kandungan protein ayam
=  x 100%
= 0,83%
H.    Ayam dioven tanpa penambahan gula
1.      Konsentrasi protein ayam
0,334= 0,998x + 0,026
x =
x = 0,308
2.      Kandungan protein ayam
=  x 100%
= 0,054%
I.       Ikan dioven dengan penambahan gula
1.      Konsentrasi protein ayam
0,072= 0,998x + 0,026
x =
x = 0,046
2.      Kandungan protein ayam
=  x 100%
= 0,86%



J.       Ikan dioven tanpa penambahan gula
1.      Konsentrasi protein ikan
0,331= 0,998x + 0,026
x =
x = 0,305
2.      Kandungan protein ikan
=  x 100%
= 0,057%
K.    Tempe dioven dengan penambahan gula
1.      Konsentrasi protein tempe
0,075= 0,998x + 0,026
x =
x = 0,409
2.      Kandungan protein tempe
=  x 100%
= 0,87%
L.     Tempe dioven tanpa penambahan gula
1.      Konsentrasi protein tempe
0,664= 0,998x + 0,026
x =
x = 0,64
2.      Kandungan protein tempe
=  x 100%
= 0,115%



B.       Pembahasan
Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak terkontrol dengan baik dapat menurunkan nilai gizi proteinnya. Pengolahan yang sering dilakukan adalah pengolahan dengan menggunakan pemanasan seperti pemasakan. Sedangkan kita ketahui bahwa protein tersebut merupakan senyawa reaktif dimana sisi aktif beberapa asam amino dalam protein dapat bereaksi dengan komponen lain misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya, serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang dioksida, atau hidrogen peroksida. Selain itu perlakuan dengan alkali menyebabkan terjadinya rasemisasi asam amino dan juga reaksi antar asam amino yaitu terbentuknya lisinolalanin dari lisin  dan alanin. Kesemuanya ini dapat menyebabkan menurunnya nilai gizi protein dan menurunnyan ketersediaan asam-asam amino esensial (Muchtadi 1989a).
Pemanasan merupakan salah satu proses pengolahan yang menggunakan suhu tinggi. Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging ikan dapat menyebabkan perubahan fisik dan kimia. Pada suhu 100oC, protein akan terkoagulasi dan air dalam daging akan keluar. Keluarnya cairan dari daging ikan disebabkan karena protein kehilangan daya ikat terhadap air sewaktu terjadi gumpalan. Semakin tinggi suhu, protein akan terhidrolisa dan terdenaturasi, terjadi peningkatan kandungan senyawa terekstrak bernitrogen, amonia dan hidrogen sulfida dalam daging (Zaitsev et al 1969, diacu dalam Suwandi 1990).
Protein dapat mengalami kerusakan oleh pengaruh-pengaruh panas, reaksi kimia dengan asam atau basa, goncangan dan sebab-sebab lainnya. Sebagai contoh misalnya protein di dalam larutan pada pH tertentu dapat mengalami denaturasi dan mengendap. Perubahan-perubahan tersebut di dalam makanan mudah dikenal dengan terjadinya penggumpalan atau pengerutan. Protein juga dapat mengalami degradasi yaitu pemecahan molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana oleh pengaruh asam, basa atau enzim. Hasil-hasil degradasi protein dapat berbentuk sebagai berikut yaitu proteosa, pepton, polipeptida, peptida, asam amino, NH3 dan unsur N (Winarno et al. 1980).
Reaksi antara protein dengan gula pereduksi (reaksi maillard) merupakan sumber utama kerusakan protein selama pengolahan dan penyimpanan misalnya pemanasan daging (terutama bila kontak dengan bahan nabati misalnya minyak goreng). Reaksi maillard terjadi dalam dua tahap reaksi yaitu reaksi awal dan reaksi lanjutan. Pada reaksi awal makanan masih berwarna seperti aslinya atau belum terjadi pencoklatan padahal lisin dalam protein makanan tersebut tidak tersedia lagi secara biologis. Reaksi maillard lanjutan berakhir dengan pembentukan pigmen berwarna coklat yang disebut melanoidin (Muchtadi 1989a).
Penurunan nilai gizi protein akibat reaksi maillard dapat diuraikan sebagai berikut: lisin dan sistin rusak akibat bereaksi dengan karbonil atau dikarbonil dan aldehid padahal lisin merupakan salah satu asam amino esensial, penurunan ketersediaan semua asam amino termasuk leusin karena terbentuknya ikatan silang antar asam-asam amino melalui produk reaksi maillard, dan penurunan  mutu cerna protein karena tercegahnya penetrasi enzim ke dalam substrat protein atau karena tertutupnya sisi protein yang dapat diserang enzim dalam ikatan silang tersebut (Muchtadi 1989a).
Hal ini diduga penambahan asam dan garam menyebabkan terjadinya denaturasi protein sehingga protein lebih mudah dicerna. Menurut Winarno et al. (1980) menyatakan bahwa penambahan asam, basa atau enzim dapat menyebabkan penguraian atau pemecahan molekul kompleks menjadi molekul lebih sederhana sehingga dapat lebih mudah dicerna dan hasilnya dapat berbentuk diantaranya unsur nitrogen dan asam amino.
1.      Perbandingan perlakuan penambahan dan tanpa penambahan gula
Perlakuan
Sampel
Penambahan
Konsentrasi protein(%)
Kandungan protein(% bb)
Digoreng
Ayam
Gula
0,05
0,94
Tanpa gula
0,386
0,070
Ikan
Gula
0,045
0,808
Tanpa gula
0,35
0,073
Tempe
Gula
0,049
0,87
Tanpa gula
0,64
0,115
Dioven(dipanggang)
Ayam
Gula
0,044
0,83
Tanpa gula
0,308
0,054
Ikan
Gula
0,046
0,86
Tanpa gula
0,305
0,057
Tempe
Gula
0,051
0,887
Tanpa gula
0,38
0,0745

Daging ayam yang digoreng dengan penambahan gula memilki kandungan protein 0,94 % sedangkan tanpa penambahan gula sebesar 0,070 % terhadap berat bahan. ikan yang digoreng dengan penambahan gula memilki kandungan protein sebesar 0,808% sedangkan ikan yang digoreng tanpa penambahan gula memilkin kandungan protein sebesar 0,073%, tempe yang digoreng dengan penambahan gula memilki kandungan protein sebesar 0,87% dan tanpa penambahan gula memilki kandungan protein sebesar 0,115%.
Daging ayam yang dioven dengan penambahan gula memilki kandungan protein sebesar 0,83%, sedangkan yang tanpa penambahan gula memiliki kandungan protein sebesar 0,054% dari total berat bahan, ikan yang dioven dengan penambahan gula memiliki kandungan protein sebesar 0,86% dari berat bahan, sedangkan yang dioven tanpa penambahan gula memiliki kandungan protein 0,057%, tempe yang dioven dengan penambahan gula memilki kandungan protein sebesar 0,887%, sedangkan tempe yang dioven tanpa penambahan gula memiliki kandungan protein sebesar 0,0745%.
Menurut Damayanthi (1994), protein akan mengalami perubahan struktur kimia akibat pemanasan atau denaturasi yaitu putusnya ikatan dalam molekul sehingga molekul protein ini akan cenderung mudah diserang oleh enzim pencernaan. Langkah awal pencernaan protein di dalam tubuh adalah denaturasi protein oleh enzim proteolitik yaitu yang terjadi di dalam lambung oleh enzim pepsin dan asam khlorida (HCl). Dengan demikian denaturasi merupakan faktor yang menguntungkan dalam sistem pencernaan protein meskipun hal ini tidak selalu berlaku secara umum.
Antidenaturan adalah bahan yang dapat menghambat perubahan struktur molekul protein yang menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik, kimiawi, dan biologi. Denaturasi terjadi dengan perlakuan panas, perlakuan dingin, alkohol, aseton, asam, dan radiasi ultraviolet. Denaturasi tidak termasuk hidrolisis ikatan peptida. Nilai gizi tidak akan berubah meskipun protein kehilangan sifat biologisnya (Tranggono, dkk. 2002). Gula yang digunakan dalam praktikum ini adalah gula sukrosa yang meruapakan disakarida yang terdiri dari glukosa dan fruktosa.
Kadar protein bahan dengan penambahan gula(sukrosa) lebih tinggi dibandingkan kadar protein bahan tanpa penambahan gula, hal tersebut sesuai dengan literatur yang ada, karena gula mampu mengurangi denaturasi karena pemanasan, denaturasi dalam keadaan normal akan menyebabkan kecernakan protein lebih tinggi. Menurut Damayanthi (1994), protein akan mengalami perubahan struktur kimia akibat pemanasan atau denaturasi yaitu putusnya ikatan dalam molekul sehingga molekul protein ini akan cenderung mudah diserang oleh enzim pencernaan, namun denaturasi akan mengurangi kadar protein dalam bahan.
Gula berfungsi untuk mencegah denaturasi protein dan mempertahankan sifat gel (Grantham, 1981). Sukrosa adalah salah satu jenis karbohidrat yang termasuk dalam kelompok disakarida dengan dua molekul monosakarida yaitu molekul glukosa dan fruktosa yang terikat oleh ikatan glikosidik. Keberadaan sukrosa dalam suatu produk akan menambah kekentalannya, meningkatkan suhu terjadinya gelatinisasi. Sorbitol adalah jenis gula alkohol yang tidak memiliki gugus karbonil bebas sehingga tidak mengalami reaksi maillard dan lebih stabil terhadap panas dari pada mono dan disakarida yang sama(Nicol.1982).
Proses pemanasan tanpa penambahan gula akan merusak protein yang terkadung dalam bahan, karena terjadinya reaksi Maillard antara senyawa amino dengan gula pereduksi yang membentuk melanoidin, suatu polimer berwarna coklat yang menurunkan nilai kenampakan produk. Pencoklatan juga terjadi karena reaksi antara protein, peptida, dan asam amino dengan hasil dekomposisi lemak. Reaksi ini dapat menurunkan nilai gizi protein ikan dengan menurunkan nilai cerna dan ketersediaan asam amino, terutama lisin (Anonymous 2008a).
Menurut Suryaningsih(2006), Pada perlakuan komposisi antidenaturan yang digunakan makin tinggi persentase antidenaturan yang digunakan, kehilangan protein makin sedikit sehingga kadar protein pada nikumi makin tinggi dengan adanya penambahan antidenaturan, hal ini disebabkan komposisi tersebut memberikan pengaruh perlindungan terhadap denaturasi protein akibat pembekuan yang lebih efektif dibandingkan dengan komposisi yang lain. Stabilitas protein nikumi selama pembekuan dilindungi oleh antidenaturan. Suhu yang rendah selama pembekuan mengakibatkan denaturasi protein (Fennema 1996).

2.      Perbandingan perlakuan penggorengan dengan pemanggangan(dioven)
Perlakuan
Sampel
Penambahan
Konsentrasi protein(%)
Kandungan protein(% bb)
Digoreng
Ayam
Gula
0,05
0,94
Tanpa gula
0,386
0,070
Ikan
Gula
0,045
0,808
Tanpa gula
0,35
0,073
Tempe
Gula
0,049
0,87
Tanpa gula
0,64
0,115
Dioven(dipanggang)
Ayam
Gula
0,044
0,83
Tanpa gula
0,308
0,054
Ikan
Gula
0,046
0,86
Tanpa gula
0,305
0,057
Tempe
Gula
0,051
0,887
Tanpa gula
0,38
0,0745

Pada perlakuan penggorengan ayam dengan penambahan gula memilki kandungan protein dari berat bahan sebesar 0,94% dari berat awal 5,31 gram, sedangkan perlakuan penggorengan tanpa gula memilki kandungan protein 0,070% dari berat bahan 5,48 gram, ikan yang digoreng  dengan penambahan gula memiliki kandungan protein 0,808% dari berat bahan 5,58 gram, sedangkan ikan yang digoreng tanpa penambahan gula memiliki kandungan protein sebesar 0,073% dari berat bahan 5,23 gram, untuk tempe dengan penambahan gula yang dengan perlakuan penggorengan memiliki kandungan protein 0,87% dari 5,76 gram , sedangkan yang tidak mendapat penambahan gula kandungan proteinnya sebesar 0,115% 5,10 gram.
Menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1972), daging ayam memiliki kandungan protein sebesar 18 gram per 100 gram bahan, sedangkan berat daging ayam goreng yang digunakan dalam praktikum ini adalah 5,31 gram untuk ayam dengan penambahan gula, dan 5,48 gram untuk ayam tanpa penambahan gula, kandungan protein ayam yang digoreng dengan atau tanpa penambahan gula lebih sedikit dibandingkan dengan literatur yang ada, menurut Sumiati(2008) Pada penggorengan, kadar protein yang didapat adalah kadar protein yang terendah dari semua pengolahan yang ada baik itu tanpa penambahan bumbu maupun dengan penambahan bumbu. Hal ini dikarenakan suhu yang digunakan dalam penggorengan sangat tinggi dan protein akan rusak dengan panas yang sangat tinggi, begitu juga kadar protein ayam yang dioven baik dengan penambahan gula maupun tidak, kadar proteinnya lebih rendah dari literatur.
Pada tempe dan ikan yang digoreng baik dengan atau tanpa penambahan gula kadar proteinnya lebih rendah dibandingkan tempe dan ikan yang dioven dengan atau tanpa penambahan gula, hal ini dikarenakan pada proses penggorengan dengan sistem deep frying, bahan pangan yang digoreng terendam dalam minyak dan suhu minyak dapat mencapai 2000C - 2050C (Ketaren 1986). Pada suhu 100oC, protein akan terkoagulasi dan air dalam daging akan keluar. Keluarnya cairan dari daging ikan disebabkan karena protein kehilangan daya ikat terhadap air sewaktu terjadi gumpalan. Semakin tinggi suhu, protein akan terhidrolisa dan terdenaturasi, terjadi peningkatan kandungan senyawa terekstrak bernitrogen, amonia dan hidrogen sulfida dalam daging (Zaitsev et al 1969, diacu dalam Suwandi 1990), pengolahan dengan pemanggangan suhunya lebih rendah dibandingkan dengan pengolahan dengan penggorengan, hal ini bisa dilihat dari tabel dibawah yang menunjukkan pengurangan kadar air akibat penggorengan lebih besar dibandingkan pemanggangan(Sumiati, 2008)

pemanggangan.JPG
 
 








Berdasarkan literatur yang ada tempe memiliki kandungan protein sebesar 18,30 untuk 100 gram bahan(Santoso, 1993), berat ikan yang digoreng dengan penambahan gula adalah 5,58 gram, sedangkan ikan tanpa penambahan gula beratnya 5,23 %, kadar protein tempe goreng dengan dan tanpa penambahan gula lebih sedikit dibandingkan literatur, hal ini disebabkan adanya pemanasan yang tinggi pada penggorengan menyebabkan rusaknya protein yang terkandung dalam tempe, sedangkan berdasarkan literatur yang lainkandungan protein ikan 18-30% dari berat bahan(Suhartini et al, 2005).
Daging ayam yang dioven dengan penambahan gula memilki kandungan protein sebesar 0,83% dari 5,30 gram berat awal, sedangkan yang tanpa penambahan gula memiliki kandungan protein sebesar 0,054% dari berat bahan sebesar 5,61 gram, ikan yang dioven dengan penambahan gula memiliki kandungan protein sebesar 0,86% dari berat bahan sebesar 5,32 gram, sedangkan yang dioven tanpa penambahan gula memiliki kandungan protein 0,057% dari 5,30 gram berat awal, tempe yang dioven dengan penambahan gula memilki kandungan protein sebesar 0,887% dari 5,63 gram berat awal, sedangkan tempe yang dioven tanpa penambahan gula memiliki kandungan protein sebesar 0,0745% dari 5,55 gram berat awal.
Kadar protein ikan dan tempe yang diberi tambahan gula maupun tidak dengan perlakuan penggorengan kadar proteinnya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pemanggangan, namun kadar protein ayam dengan penambahan gula maupun tidak yang digoreng lebih tinggi dibandingkan ayam yang dioven, menurut Sumiati(2008) pada penggorengan, kadar protein yang didapat adalah kadar protein yang terendah dari semua pengolahan yang ada baik itu tanpa penambahan bumbu maupun dengan penambahan bumbu. Hal ini dikarenakan suhu yang digunakan dalam penggorengan sangat tinggi dan protein akan rusak dengan panas yang sangat tinggi.
Protein ikan mudah rusak selama penanganan dan pengolahan seperti degradasi, denaturasi, dan koagulasi. Penyebab utama ketidakstabilan protein ikan adalah miosinnya, namun tidak semua miosin ikan bersifat tidak stabil. Kestabilan protein ini berhubungan dengan suhu tubuh dari mana miosin diperoleh. Miosin dari hewan berdarah hangat relatif stabil, sedangkan dari ikan yang hidup di daerah dingin bersifat sangat tidak stabil (Muchtadi, 1989).
Interaksi antara protein dan lemak yang teroksidasi juga dapat menyebabkan penurunan nilai gizi protein, dan hal ini sering kali tidak diperhatikan. Oksidasi lipid yang mengandung asam lemak tidak jenuh berlangsung dalam tiga tahap yaitu pembentukan produk primer, yaitu lipid hidroperoksida; degradasi hidroperoksida melalui radikal bebas dan membentuk produk-produk sekunder yaitu aldehid, hidrokarbon, dan lain-lain; dan polimerisasi produk primer dan sekunder membentuk produk akhir yang stabil. Produk-produk yang terbentuk tersebut dapat bereaksi dengan protein (terutama lisin atau asam amino lain), membentuk protein modifikasi yang tidak dapat diserang oleh enzim proteolitik. Selain itu, asam amino triptofan dan asam-asam amino yang mengandung belerang dapat rusak teroksidasi oleh radikal bebas dan hidroperoksida (Muchtadi 1989a).
Menurut Tarwotjo (1998), ada dua jenis masakan ikan yaitu masakan kering dan masakan basah. Masakan kering (dry heat) merupakan hidangan yang dimasak tanpa air, sebagai contoh adalah penggorengan dan pempanggangan. Masakan basah (moist heat) merupakan hidangan yang dimasak menggunakan air, contohnya adalah perebusan dan pengukusan.
Penggorengan merupakan salah satu proses pemasakan yang popular karena masakan hasil penggorengan menjadi lebih gurih, berwarna lebih menarik, nilai gizi meningkat dan waktu pemasakan yang lebih cepat (Damayanthi 1994). Pada umumnya sistem menggoreng bahan pangan ada dua macam yaitu sistem gangsa (pan frying) dan menggoreng biasa (deep frying). Ciri khas dari proses gangsa adalah bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam minyak serta suhu pemanasan umumnya lebih rendah dari suhu pemanasan pada sistem deep frying. Pada proses penggorengan dengan sistem deep frying, bahan pangan yang digoreng terendam dalam minyak dan suhu minyak dapat mencapai 2000C - 2050C (Ketaren 1986).
Pada saat penggorengan terjadi perubahan kimiawi baik pada bahan makanannya maupun pada minyak gorengnya (Damayanthi 1994). Permukaan lapisan luar akan berwarna coklat keemasan akibat penggorengan. Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu menggoreng dan juga komposisi kimia pada permukaan luar bahan pangan sedangkan jenis minyak yang digunakan berpengaruh sangat kecil (Ketaren 1986).
Selama proses penggorengan, sebagian minyak masuk ke dalam bahan pangan dan mengisi ruang kosong yang pada mulanya diisi oleh air. Penyerapan minyak oleh ikan pada saat penggorengan adalah sekitar 10% - 12%. Penyerapan minyak ini berfungsi untuk mengempukkan kerak (bagian luar bahan pangan) dan untuk membasahi bahan pangan yang digoreng sehingga menambah rasa lezat dan gurih (Ketaren 1986).Mudjajanto (1991) menyatakan bahwa penggunaan suhu 180oC – 300oC contohnya penggorengan ikan mujair akan menyebabkan kerusakan yang cukup besar atau bisa menurunkan nilai gizi protein.
Pemanggangan dapat dilakukan dengan cara dibakar langsung diatas api dengan menggunakan suatu alat juga bisa dilakukan dalam oven. Ada beberapa cara yang perlu diperhatikan dalam memanggang yakni jangan memanggang diatas api yang baru menyala dan berasap; gunakan panggangan listrik, panggangan gas atau briket arang dengan tempat apinya disamping, supaya tidak ada lemak yang menetes pada bara api atau api yang tengah berpijar. Bila lemak menetes diatas bara, akan terbentuklah PAC (Polisiklik Aromatis Carbon), dengan asap selanjutnya akan terbawa pada bahan-bahan yang tengah dipanggang; gunakan alas pemanggangan jika memanggang langsung pada api, sehingga tidak ada tetesan lemak yang jatuh pada bara atau api; jika memanggang menggunakan arang atau briket, maka letakkan bahan yang hendak dipanggang jika arang sudah membara dengan baik. Biasanya proses pembaraan berlangsung 30 – 60 menit, ia akan menunjukkan bara yang sudah menyala merah dengan beberapa bagian telah menjadi abu putih; hindari makanan yang dibakar/ dipanggang berlebihan, misalnya hingga menimbulkan kegosongan yang berlebihan. Lebih baik buanglah bagian yang sudah sangat gosong tersebut (sangat hitam); jangan memangggang produk-produk daging yang telah mengalami "curing" (pemberian garam pokel/sendawa) (Anonymous 2008b).


V.        PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada penambahan gula(sukrosa) kadar protein yang terkandung dalam bahan yang digunakan lebih tinggi baik itu pada perlakuan penggorengan, maupun pemanggangan (oven), hal tersebut karena sukrosa merupakan antidenaturan yang mampu mencegah terjadinya denaturasi pada protein, denaturasi protein dapat meningkatkan nilai kecernakan protein, namun menurunkan kadar protein. Menurut Damayanthi (1994), protein akan mengalami perubahan struktur kimia akibat pemanasan atau denaturasi yaitu putusnya ikatan dalam molekul sehingga molekul protein ini akan cenderung mudah diserang oleh enzim pencernaan, namun denaturasi akan mengurangi kadar protein dalam bahan.
Pada ikan dan tempe yang digoreng, kadar proteinnya lebih rendah dibandingkan dengan yang dipanggang(dioven), hal tersebut dikarenakan pada perlakuan penggorengan suhu minyak dapat mencapai 2000C - 2050C (Ketaren 1986), sedangkan suhu pemanggangan di bawahnya. Menurut Sumiati(2008) pada penggorengan, kadar protein yang didapat adalah kadar protein yang terendah dari semua pengolahan yang ada, hal tersebut dikarenakan protein akan semakin mengalami denaturasi yang dikarenakan suhu yang tinggi.

B. Saran
Pengolahan makanan dengan kandungan protein tinggi harus diperhatikan suhunya akan protein yang terkandung di dalamnya tidak banyak mengalami kerusakan, penambahan sukrosa(gula) sebagai antidenaturan dapat digunakan untuk mencegah denaturasi protein pada bahan makanan berprotein tinggi.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, F dan A. Sulaeman.  1992.  Penetapan Zat Gizi Dalam Makanan.  PAU Pangan dan Gizi IPB.

Astawan M, 2004. Manfaat Ikan Bagi Jantung Dan Wajah, http://www.dkp.go.id,
diakses tanggal 27 Desember 2014.

Damayanthi, E. 1994. Pengaruh Pengolahan terhadap Zat Gizi Bahan Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan. 1972. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharat. Jakarta. 57pp.

Devi, Nirmala. 2010. Nutrition and Food Gizi untuk Keluarga. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry 3th edition. Marcel Dekker, Inc. New York

Hidayat, Nur dkk. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Lowry , Rosenbrough , Farr, Randall. 1951. Protein Measurement with the Folin Phenol Reagent. New York: Kluwer Academic Publishers.
Muchtadi, D. 1989a. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Muchtadi, D. 1989b. Protein: Sumber dan Teknologi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mudjajanto, E.S. 1991. Pengaruh Pengolahan Pangan terhadap Zat Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Santoso, H.B., 1993. Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai. Kanisius, Yogyakarta
.
Suhartini dan Hidayat, 2005. Olahan Ikan Segar, Penerbit Trubus Agri Sarana,
Surabaya.
Sumardjo, Damin. 2008. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sumiati, Titin. 2008.  Pengaruh Pengolahan Terhadap Mutu Cerna Protein Ikan Mujair(Tilapia mossambica). Bogor : IPB

Suwandi, R. 1990. Pengaruh Proses Penggorengan dan Pengukusan terhadap Sifat Fisiko Kimia Protein Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Skripsi Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tarwotjo, C.S. 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Penerbit Grasindo. Jakarta.

Tika, I Nyoman. 2007.Penuntun Praktikum Biokimia. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.

Tranggono.et al. 2002. Kamus Istilah Pangan danNutrisi. Kanisius. Yogyakarta.

Winarno, F.G., S. Fardiaz. dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Penerbit    Gramedia. Jakarta.

Winarno F.G. 1990. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


No comments:

Post a Comment