TUGAS TERSTRUKTUR
KIMIA PANGAN 1
ASAM LEMAK PADA GONAD
BULU BABI
Disusun
Oleh :
Puti
Addina Andam A1M009023
Martadiah
Takwa A1M010037
Laily
Nur Alifah A1M010084
Fauziah
Rahmi Halim A1M011010
Arfini
Hidayanti A1M011051
Fika
Puspita A1M012001
Dwi Apriyanti Kurniawan
A1M012002
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERTANIAN
JURUSAN
TEKNOLOGI PERTANIAN
PROGRAM STUDI
ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
PURWOKERTO
2013
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara geografi
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya alam laut yang
berpotensi untuk dimanfaatkan secara lestari. Sumber daya alam laut tersebut
terdiri atas berbagai jenis ikan, moluska, ekinodermata dan krustase.
Masyarakat pesisir sejak lama telah memanfaatkan sumber daya alam laut tersebut
sebagai sumber makanan, mineral, obat-obatan, dan energi (South and Skelton,
2000 dalam Leimena, 2002).
Bulu Babi
merupakan hewan asosiasi terumbu karang yang sangat unik dan berbahaya. Hal ini
karena bentuk tubuhnya yang berduri runcing serta berbisa. Walaupun tidak
mematikan, bisa yang dihasilkan diadema cukup untuk membuat kita meringis
seharian.
Bulu babi jenis Tripneustes
gratilla merupakan salah satu jenis bulu babi bernilai ekonomis penting
yang banyak dijumpai di perairan pantai Indonesia terutama di daerah padang
lamun dan merupakan salah satu makanan laut yang sangat digemari oleh
masyarakat Maluku, khususnya masyarakat di Pulau Banda Kabupaten Maluku Tengah
dan Pulau Osi Kabupaten Seram Bagian Barat. Komponen lemak pada biota laut
banyak mendapat perhatian selama ini karena mempunyai efek kesehatan,
diantaranya adalah kemampuannya untuk menurunkan kadar kolesterol darah pada
manusia dan dari segi pangan lemak sangat penting karena fungsinya sebagai
penentu cita rasa (Chasanah dan Andamari, 1998).
Lemak adalah biomolekul
yang larut dalam pelarut organik dan terdiri dari beberapa jenis molekul
seperti trigliserida, fosfolipid, dan kolesterol. Pada umumnya jenis lemak
dalam membran adalah fosfolipid (Gilbert, 2000). Lemak disusun oleh asam-asam
lemak yang terdiri atas asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak
tak jenuh terdiri atas asam lemak tak jenuh jamak (polyunsaturated fatty
acid, PUFA) dan asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty
acid, MUFA). Asam lemak esensial mencakup golongan asam lemak tak jenuh
jamak tipe cis, khususnya dari kelompok asam lemak Omega-3 (misalnya
asam α-linolenat, EPA, dan DHA) dan asam lemak Omega-6 (misalnya asam
linoleat). PUFA berperan dalam menurunkan kadar kolesterol dan lemak dalam
darah sehingga tidak terjadi penimbunan kolesterol dan lemak pada dinding
pembuluh darah. PUFA bahkan mampu memperbaiki dinding arteri yang telah rusak
(Winarno, 2000). Asam lemak tak jenuh tunggal tergolong netral, yakni tidak
jahat dan tidak pula bersifat menguntungkan untuk kesehatan tubuh. Jenis asam
lemak ini tidak menyebabkan darah menjadi lengket. Kemampuan tubuh untuk
mensintesis asam lemak tak jenuh yang mempunyai dua atau lebih ikatan rangkap
sangat terbatas, sehingga asam lemak tersebut harus didapatkan dari makanan
(Almatsier, 2000).
B. Tujuan
Tujuan pembuatan
makalah ini antara lain:
1. Memenuhi tugas mata kuliah Kimia Pangan I.
2. Mengenal bulu babi dan morfologinya.
3. Mengetahui kandungan asam lemak pada gonad bulu babi.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi dan Klasifikasi Bulu Babi
Bulu babi
termasuk Filum Echinodermata, bentuk dasar tubuh segilima. Mempunyai lima
pasang garis kaki tabung dan duri panjang yang dapat digerakkan. Kaki tabung
dan duri memungkinkan binatang ini merangkak di permukaan karang dan juga dapat
digunakan untuk berjalan di pasir. Cangkang luarnya tipis dan tersusun dari
lempengan-lempengan yang berhubungan satu samalain.
Pada bagian
tengah sisi aboral terdapat sistem apikal dan pada bagian tengah sisi oral
terdapat sistem peristomial. Lempeng-lempeng ambulakral dan interambulakral
berada diantara sistem apikal dan sistem peristomial. Di tengah-tengah sistem
apikal dan sistem peristomial termasuk lubang anus yang dikelilingi oleh
sejumlah keping anal (periproct) termasuk diantaranya adalah keping-keping
genital. Salah satu diantara keping genital yang berukuran paling besar
merupakan tempat bermuaranya sistem pembuluh air (waste vascular system).
Sistem ini menjadi cirri khas Filum Echinodermata, berfungsi dalam pergerakan,
makan, respirasi, dan ekskresi. Sedangkan pada sistem peristomial terdapat pada
selaput kulit tempat menempelnya organ “lentera aristotle”, yakni semacam
rahang yang berfungsi sebagai alat pemotong dan penghancur makanan. Organ ini
juga mampu memotong cangkang teritip, molusca ataupun jenis bulu babi lainnya
(Azis 1987 dalamRatna 2002). Di sekitar mulut bulu babi beraturan kecuali ordo
Cidaroidea terdapat lima pasang insang yang kecil dan berdinding tipis (Hyman
1955 dan Barnes 1987 dalam Ratna 2002)
Hewan unik
ini juga memiliki kaki tabung yang langsing panjang, mencuat diantara
duri-durinya. Duri dan kaki tabungnya digunakan untuk bergerak merayap di dasar
laut. Ada yang mempunyai duri yang panjang dan lancip, ada pula yang durinya
pendek dan tumpul. Mulutnya terletak dibagian bawah menghadap kedasar laut
sedangkan duburnya menghadap keatas di puncak bulatan cangkang. Makanannya
terutama alga, tetapi ada beberapa jenis yang juga memakan hewan-hewan kecil
lainnya (Nontji, 2005).
Pada umumnya bulu babi berkelamin terpisah, dimana jantan dan betina merupakan individu-individu tersendiri (gonochorik/dioecious). Spesies gonochorik secara khusus memiliki rasio seks sendiri dan jarang bersifat hemafrodit. Munculnya hemafrodoitisme pada Tripneustes gratilla adalah 1 dari 550 individu. Pembelahan bulu babi terjadi secara eksternal, dimana sel telur dan sel sperma di lepas ke dalam air laut di sekitarnya (Sugiarto dan Supardi 1995 dalam Ratna 2002). Gonad jantan dan betina pada bulu babi juga sulit dibedakan tanpa menggunakan mikroskop. Secara kasar hanya warna yang digunakan untuk membedakan gonad. Misalnya pada bulu babi Paracentrotus livindus, gonad jantan berwarna kuning sedangkan betina berwarna orange
Dalam penelitian Gunarto dan Setiabudi (2002) di perairan Pulau Barang Lompo, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, didapati ukuran bulu babi terbesar memiliki kisaran tinggi cangkang 50-61 mm, diameter cangkang 86-94 mm, berat total 148-331 g. Sedangkan ukuran bulu babi terkecil dengan ukuran tinggi cangkang 27,2-36,4 mm, diameter cangkang 47,4-66,0 mm, dan berat total 41,4-110,9 g.
Pada umumnya bulu babi berkelamin terpisah, dimana jantan dan betina merupakan individu-individu tersendiri (gonochorik/dioecious). Spesies gonochorik secara khusus memiliki rasio seks sendiri dan jarang bersifat hemafrodit. Munculnya hemafrodoitisme pada Tripneustes gratilla adalah 1 dari 550 individu. Pembelahan bulu babi terjadi secara eksternal, dimana sel telur dan sel sperma di lepas ke dalam air laut di sekitarnya (Sugiarto dan Supardi 1995 dalam Ratna 2002). Gonad jantan dan betina pada bulu babi juga sulit dibedakan tanpa menggunakan mikroskop. Secara kasar hanya warna yang digunakan untuk membedakan gonad. Misalnya pada bulu babi Paracentrotus livindus, gonad jantan berwarna kuning sedangkan betina berwarna orange
Dalam penelitian Gunarto dan Setiabudi (2002) di perairan Pulau Barang Lompo, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, didapati ukuran bulu babi terbesar memiliki kisaran tinggi cangkang 50-61 mm, diameter cangkang 86-94 mm, berat total 148-331 g. Sedangkan ukuran bulu babi terkecil dengan ukuran tinggi cangkang 27,2-36,4 mm, diameter cangkang 47,4-66,0 mm, dan berat total 41,4-110,9 g.
Bulu babi
termasuk organisme yang pertumbuhannya lambat. Umur, ukuran, dan pertumbuhan
tergantung kepada jenis dan lokasi. Chen dan Run (1988) dalam Tuwo (1995) diacu
dari Ratna (2002) melaporkan bahwa bulu babi jenis Tripeneuste gratilla yang dipelihara di laboratorium di Taiwan
mengalami metamorfos pada umur 30 hari. PertumbuhanTripneustes gratilla sangat cepat pada awal perkembangannya, tetapi
jumlahnya terbatas. Hal ini diduga erat kaitannya dengan banyaknya predator
yang dialami oleh hewan berukuran kecil. Setelah mencapai umur tertentu,
cangkangnya sudah cukup kuat sehingga jumlah predator yang dapat menyerang dan
memecahkan cangkangnya berkurang.
Bulu babi
mempunyai banyak predator, yaitu berbagai jenis ikan, termasuk hiu, anjing
laut, lobster, kepiting, dan gastropoda (Kenner 1992; Tegner dan Dayton 1981
dalam Tuwo 1995). Hal ini juga menyebabkan rendahnya densitas bulu babi.
Predator utama bulu babi jenis Diadema
setosum adalah ikan Buntal (Tetraodon)
dan ikan Pakol (Balistes) yang
mempunyai gigi yang kuat dan tajam yang dapat mematahkan duri-duri dan mengoyak
cangkang bulu babi (Nontji 2005). Mortalitas bulu babi umumnya sangat tinggi
(Ebert 1975 dalam Tuwo 1995). Secara umum di alam bulu babi dapat mengalami
kematian massal pada suhu 34-40˚ C .
B.
Biologi Bulu Babi (Tripneustes gratilla L)
Bulu
babi Tripneustes gratilla L termasuk
dalam kelas Echinoidea, dari filum Echinodermata (binatang berkulit duri). Ciri umum
dari kelas Echinoidea adalah biota ini tidak mempunyai lengan bebas, tetapi
hampir seluruh tubuhnya mengandung duri-duri yang dapat digerakkan (Suwignyo,
1989 dalam Roslita, 2000).
Berdasarkan bentuk tubuhnya bulu babi dibagi menjadi bulu babi beraturan
(regular echinoids) dan bulu babi tidak beraturan (irregular echinoids) (Hyman,
1955 dalam Roslita, 2000), dan hanya
bulu babi beraturan saja yang dapat dimakan gonadnya (Darsono, 1982 dalam Roslita, 2000).
Bulu
babi Tripneustes gratilla L tergolong
kelompok bulu babi beraturan. Pada umumnya bulu babi beraturan mempunyai
struktur cangkang berbentuk bola yang biasanya sirkular atau oval dan agak
pipih pada bagian oral dan aboral. Permukaan cangkang dilengkapi duri dengan
panjang yang berbeda tergantung jenisnya, serta dapat digerakkan (Barnes, 1987 dalam Roslita, 2000). Cangkang tersusun
dari lempengan-lempengan kapur yang membentuk pola pentaradial simetri. Lima
pasang lempeng ambulakral tersusun bergantian dengan 5 pasang lempeng
interambulakral. Lempeng ambulakral berukuran lebih kecil dan mempunyai lubang
tempat penjuluran kaki tabung. Sedangkan lempeng interambulakral berukuran
lebih besar dan melebar. Duri-duri utama terletak pada lempeng interambulakral,
sedangkan duri-duri kecil tersebar di semua lempeng ambulakral (Sugiarto dan
Supardi, 1995).
Tubuh
bulu babi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian oral, bagian aboral, dan
bagian di antara oral dan aboral (Anonymous, 1973 dalam Roslita, 2000). Pada bagian tengah sisi aboral terdapat
sistem apikal dan pada bagian tengah sisi oral terdapat sistem peristomial.
Lempeng-lempeng ambulakral dan interambulakral berada di antara sistem apikal
dan sistem peristomial. Di tengah-tengah sistem apikal terdapat lubang anus
yang dikelilingi oleh sejumlah keping anal (periproct) termasuk diantaranya
adalah keping-keping genital. Salah satu di antara keping genital yang
berukuran paling besar merupakan tempat bermuaranya sistem pembuluh air
(madreporit). Sedangkan pada sistem peristomial terdapat selaput kulit tempat
menempelnya organ lentera aristoteles yang berfungsi sebagai pemotong dan
penghancur makanan bulu babi yang berupa tanaman laut (Sugiarto dan Supardi,
1995). Organ ini juga mampu memotong cangkang teritip, moluska, ataupun jenis
bulu babi lainnya (Aziz, 1993).
Pada
umumnya bulu babi berwarna gelap antara lain hitam, hijau, coklat, dan ungu.
Meskipun beberapa diantaranya pucat atau mendekati putih, namun ada juga yang
berwarna merah. Biasanya spina dan badannya menujukkan pewarnaan yang sama
walaupun berbeda pada beberapa spesies. Bulu babi yang masih muda mampu
mengubah warna asal cangkang dan spina menjadi abu-abu pucat atau putih oleh
kontraksi dari melanofor yang berisi pigmen hitam. Warna bulu babi dibatasi
oleh pigmen sel atau mungkin terdapat sebagai kumpulan granula pada dermis
(Hyman, 1975 dalam Kasim, 1999). Tripneustes gratilla L mempunyai warna yang khas jika dibandingkan
dengan bulu babi lainnya. Pada sisi ambulakrum berwarna putih dan hitam, dan
yang lainnya kadang berwarna kemerahan. Podia yang menjulur keluar biasanya
berwarna putih (David and George, 1979 dalam
Kasim, 1999).
Aktivitas
merumput atau memakan lamun dan alga merupakan cara makan Tripneustes gratilla L. Aktivitas ini dimungkinkan karena hewan ini
mempunyai alat yang disebut lentera Aristoteles, yang berfungsi sebagai rahang
dan gigi. Bulu babi dapat memotong berbagai jenis alga dan lamun. Tidak semua
jenis bulu babi melakukan aktivitas merumput karena jenis-jenis tertentu juga
bersifat sebagai predator atau omnivora (Aziz, 1993).
Tripneustes gratilla L tidak hanya
menyukai berbagai jenis lamun tetapi juga memakan jenis-jenis alga. Secara
alami hewan ini lebih sering dijumpai di daerah padang lamun dengan memakan
jenis-jenis lamun Thalassia hemprichii dan
Enhalus acoroides dibanding dengan
daerah pertumbuhan alga (Mukai and Nojima, 1985). Laurence (1975) dalam Kasim (1999) mengemukakan bahwa
kelompok bulu babi herbivora dari genus Tripneustes,
Temnopleurus, Diadema, Echinometrix, Toxopneustes, dan Mespilia, di samping merupakan penghuni tetap padang lamun, juga
dapat ditemukan di daerah pertumbuhan alga pada ekosistem terumbu karang. Hal
ini disebabkan karena di samping menyukai daun lamun, hewan-hewan ini juga
menyukai jenis-jenis alga tertentu. Herring (1972) dalam Kasim (1999) melaporkan hasil analisis isi lambung dari
berbagai jenis bulu babi di perairan Zanzibar. Peneliti tersebut mengemukakan
bahwa lamun merupakan komponen utama makanan bulu babi jenis Tripneustes gratilla L, D. setosum, dan Echinometrix calamaris. Mukai and Nojima (1985) mengemukakan bahwa Tripneustes gratilla L merupakan
perumput yang penting pada komunitas lamun, dan dari analisis isi lambung
didapatkan bahwa lamun jenis Thalassia
hemprichii merupakan 82,4% dari isi lambung Tripneustes gratilla L yang ada di perairan Papua Nugini.
C.
Gonad Bulu Babi
Bagian
dari bulu babi yang biasa dimanfaatkan adalah gonad atau telurnya, baik gonad
jantan atau gonad betina. Gonad tersebut terdiri atas 5 lobi yang tersusun
secara radial dan tergantung sepanjang lempeng interambulakral, mengisi lebih
dari separuh rongga badan pada sisi apikal. Tidak ada perbedaan penting antara
gonad jantan dan betina, baik dalam ukuran maupun strukturnya (Darsono, 1986). Tekstur gonad mengalami perubahan
sejalan dengan perkembangan gonad (gametogenesis). Gonad pada tingkat matang
berukuran sangat besar, bertekstur lunak, dan berlendir. Gonad seperti ini
tidak diinginkan sebagai produk perikanan. Telur yang dikehendaki adalah yang
bertekstur kompak. Kondisi ini terjadi pada saat fase pijah lanjut (Darsono, 1986).
Jenis-jenis
bulu babi yang biasa dimakan dan diperjualbelikan diantaranya adalah Tripneustes gratilla L, Strongylocentrotus franciscanus, S.
doebrachiensis, S. purpuratus, Echinus esculentus, Mespilia globulus,
Heliochidaris crassipina, H. tuberculata, H. erythogamma, dan Paracentrotus lividus (Aziz, 1993).
Beberapa jenis bulu babi di Indonesia yang diketahui bisa dimakan gonadnya
adalah Diadema setosum, Echinometra
mathaei, Tripneustes gratilla, Echinotrix sp., dan Salmacis sp. (Anonymous, 1973 dalam
Roslita 2000).
D. Habitat
dan Penyebaran Bulu Babi
Bulu babi
hidup di ekosistem terumbu karang (zona pertumbuhan alga) dan lamun. Bulu babi
ditemui dari daerah intertidal sampai kedalaman 10 m dan merupakan penghuni
sejati laut dengan batas toleransi salinitas antara 30-34 ‰ (Aziz 1995 dalam
Hasan 2002). Hyman (1955) dalam Ratna (2002) menambahkan bahwa bulu babi
termasuk hewan benthonic, ditemui di semua laut dan lautan dengan batas
kedalaman antara 0-8000 m. Karena echinoide memiliki kemampuan beradaptasi
dengan air payau lebih rendah dibandingkan invertebrate lain. Kebanyakan bulu
babi beraturan hidup pada substrat yang keras, yakni batu-batuan atau terumbu
karang dan hanya sebagian kecil yang menghuni substrat pasir dan Lumpur, karena
pada kondisi demikian kaki tabung sulit untuk mendapatkan tempat melekat.
Golongan tersebut khusus hidup pada teluk yang tenang dan perairan yang lebih
dalam, sehingga kecil kemungkinan dipengaruhi ombak.
Dalam penelitian Gunarto dan Setiabudi (2002) dilaporkan bahwa perkembangan gonad bulu babi pada musim kemarau tidak dalam satu stadium, tetapi terdapat gonad dlam periode berkembang, matang, pijah.
E. Masa Hidup Bulu Babi
Dalam penelitian Gunarto dan Setiabudi (2002) dilaporkan bahwa perkembangan gonad bulu babi pada musim kemarau tidak dalam satu stadium, tetapi terdapat gonad dlam periode berkembang, matang, pijah.
E. Masa Hidup Bulu Babi
Bulu babi
merah (Strongylocentrotus franciscanus) yang
sejak lama dianggap sebagai momok di lautan. Karena makan tumbuh-tumbuhan di
bawah air dan banyak orang yakin hewan inilah yang bertanggung jawab atas
kerusakan ekosistem laut. Tidak heran bila banyak orang berusaha meracuninya,
ternyata dalam penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa bulu babi merah
tumbuh jauh lebih lambat dari perkiraan semula, namun hidup lebih lama
dibanding dugaan awal. Mereka tidak sekedar mencapai umur tujuh hingga 15 tahun
seperti diperkirakan, tapi bisa mencapai 200 tahun lebih (www.kompas.com)
Lebih menarik lagi, hewan-hewan lanjut usia itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda uzur. Menurut Dr. Albert dalam kompas.com, walaupun mereka bisa mati karena serangan hewan pemangsa, penyakit tertentu, atau ditangkap nelayan, namun hewan-hewan ini tidak menunjukkan tanda-tanda ketuaan lanjut. Bukti-bukti menunjukkan bahwa bulu babi merah berusia 100 tahun tidak begitu berbeda dengan yang berumur 10 tahun. Kenyataan mengindikasikan bahwa semakin dewasa bulu babi merah, maka makin produktif mereka menghasilkan sperma dan telur. Hewan ini juga masih mampu berkembang biak walau usianya sudah amat tua. Di antara hal-hal lain, data radio karbon juga menunjukkan bulu babi merah memiliki pertumbuhan yang nyaris tidak terlalu dipengaruhi kondisi laut dan variabel lain (www.kompas.com).
Analisis terhadap genom bulu babi juga menunjukkan bahwa bulu babi memiliki sistem kekebalan dan kepekaan gen yang unik dan kompleks. Kemiripan antara manusia dan bulu babi yang memiliki jalur kekerabatan jauh dapat dijadikan model untuk memahami proses evolusi. Dalam proyek genetika yang dilakukan di California, para ilmuwan mengambil DNA dari sperma seekor bulu babi jantan California yang hidup menyebar di pantai barat AS dari Baja hingga Alaska. Hasil identifikasi menunjukkan ada 23.300 gen yang tersusun dari 814 juta kode DNA yang dimiliki seekor bulu babi. George Weinstock dari Sekolah Kedokteran Baylor AS sebagai pemimpin dalam proyek pengurutan DNA bulu babi menyatakan bahwa 70 persen gen bulu babi ternyata memiliki kemiripan dengan manusia sementara pada lalat buah hanya 40 persennya, dengan dua jenis filum yang berbeda. Melalui mekanisme ini dapat menjelaskan mengapa hewan tersebut bisa bertahan hingga 100 tahun (www.kompas.com).
Lebih menarik lagi, hewan-hewan lanjut usia itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda uzur. Menurut Dr. Albert dalam kompas.com, walaupun mereka bisa mati karena serangan hewan pemangsa, penyakit tertentu, atau ditangkap nelayan, namun hewan-hewan ini tidak menunjukkan tanda-tanda ketuaan lanjut. Bukti-bukti menunjukkan bahwa bulu babi merah berusia 100 tahun tidak begitu berbeda dengan yang berumur 10 tahun. Kenyataan mengindikasikan bahwa semakin dewasa bulu babi merah, maka makin produktif mereka menghasilkan sperma dan telur. Hewan ini juga masih mampu berkembang biak walau usianya sudah amat tua. Di antara hal-hal lain, data radio karbon juga menunjukkan bulu babi merah memiliki pertumbuhan yang nyaris tidak terlalu dipengaruhi kondisi laut dan variabel lain (www.kompas.com).
Analisis terhadap genom bulu babi juga menunjukkan bahwa bulu babi memiliki sistem kekebalan dan kepekaan gen yang unik dan kompleks. Kemiripan antara manusia dan bulu babi yang memiliki jalur kekerabatan jauh dapat dijadikan model untuk memahami proses evolusi. Dalam proyek genetika yang dilakukan di California, para ilmuwan mengambil DNA dari sperma seekor bulu babi jantan California yang hidup menyebar di pantai barat AS dari Baja hingga Alaska. Hasil identifikasi menunjukkan ada 23.300 gen yang tersusun dari 814 juta kode DNA yang dimiliki seekor bulu babi. George Weinstock dari Sekolah Kedokteran Baylor AS sebagai pemimpin dalam proyek pengurutan DNA bulu babi menyatakan bahwa 70 persen gen bulu babi ternyata memiliki kemiripan dengan manusia sementara pada lalat buah hanya 40 persennya, dengan dua jenis filum yang berbeda. Melalui mekanisme ini dapat menjelaskan mengapa hewan tersebut bisa bertahan hingga 100 tahun (www.kompas.com).
F.
Pemanfaatan Bulu Babi
Bagian dari
bulu babi yang biasa dimanfaatkan adalah gonad atau telurnya, baik gonad jantan
maupun gonad betina. Bulu babi beraturan mempunyai lima gonad yang tergantung
sepanjang bagian dalam interambulakral pada daerah aboral (Hyman 1955 dalam
Ratna 2002). Tergantung lingkungan dan faktor genetik, bulu babi muda dapat
mencapai kematangan seksual sekitar 1-2 tahun setelah beralih dari fase larva
ke fase juvenil. Trinidad-Roa (1989) dalam Setiabudi (1996) diacu dari Ratna
2002, melaporkan bahwa Tripneutes
gratilla dari Bali mengalami matang kelamin pertama kali pada umur 2.5
tahun. Setelah itu produksi gonadnya menurun. Hal ini ditemukan juga pada kelas
echinoidea lainnya (Conand 1989 dalam Tuwo 1995 diacu dari Ratna 2002).
Gonad yang matang berukuran sangat besar, mengisi ruang yang kosong diantara untaian usus dan meluas mulai pertengahan aboral hingga mencapai lentera aristotle (Hyman 1955 dalam Ratna 2002). Umumnya gonad yang matang bertekstur lunak dan berlendir. Telur seperti ini tidak diinginkan sebagai produk perikanan. Telur atau gonad yang dikehendaki adalah yang bertekstur kompak, dimana kondisi ini terjadi pada saat fase pijah lanjut (Bernard 1977 dalam Darsono 1986 diacu dari Ratna 2002).
Gonad yang matang berukuran sangat besar, mengisi ruang yang kosong diantara untaian usus dan meluas mulai pertengahan aboral hingga mencapai lentera aristotle (Hyman 1955 dalam Ratna 2002). Umumnya gonad yang matang bertekstur lunak dan berlendir. Telur seperti ini tidak diinginkan sebagai produk perikanan. Telur atau gonad yang dikehendaki adalah yang bertekstur kompak, dimana kondisi ini terjadi pada saat fase pijah lanjut (Bernard 1977 dalam Darsono 1986 diacu dari Ratna 2002).
Pemanenan
bulu babi sebaiknya dilakukan pada saat indeks kematangan gonad mencapai
maksimal atau sebelum musim pemijahan. Secara teoritis hewan yang boleh
ditangkap sebaiknya adalah yang pernah memijah minimal satu kali agar hewan
dapat berkembang biak sebelum tertangkap (Tuwo 1995dalam Ratna 2002), di
California bulu babi merah (Strongylocentrotus
fransciscanus) baru dapat dipanen setelah berumur antara 5-8 tahun.
Sedangkan di daerah Shetland pemanenan Echinus
esculentus biasanya dilakuka mulai akhir Desember sampai akhir Februari,
tepatnya sebelum musim pemijahan (Penfold dan Boyle 1996 dalam Ratna 2002).
Berat bulu babi biasanya mencapai 25% dari total berat tubuhnya, tergantung
kepadatan populasi dan tersedianya cukup makanan di alam (Darsono 1986 dalam
Ratna 2002). Pemanenan sebaiknya tidak dilakukan jika rata-rata persentase
gonad masih dibawah 10% (Penfold dan Boyle 1996 dalam Ratna 2002).
Sebagian
besar negara-negara di Amerika dan Eropa telah mulai mengembangkan budidaya
jenis ini. Meskipun dalam perkembangannya, terlihat jelas adanya perbedaan
mencolok antara produk tangkapan di laut dan telur dari hasil budidaya.
Perbedaan itu utamanya terletak pada warna dan tekstur telur yang dihasilkan.
Warna dan tekstur adalah dua faktor penentu dalam kualitas dan harga bulu babi.
Menurut Pearce dkk (2004) bahwa bulu babi yang diberi pakan buatan dapat
menghasilkan telur yang besar namun warna telur yang dihasilkan pucat (pale),
sementara warna telur bulu babi tangkapan alam jauh lebih kuning kemerahan. Hal
ini berpengaruh terhadap harga jual (www.beritaiptek.com).
Cangkang dari jenis bulu babi tertentu dilapisi oleh pigmen cairan hitam yang stabil. Cairan ini dapat digunakan sebagai pewarnaan jala dan kulit. Cangkang dari bulu babi juga diminati sebagai barang perhiasan. Sedangkan organ dari sisa pengolahan bulu babi biasanya berupa cangkang dan organ dalam (jeroan) dapat diproses lebih lanjut menjadi pupuk (Zaitsev et al 1969 dalam Ratna 2002).
Umumnya gonad bulu babi dijual dalam keadaan segar, karena memiliki nilai paling tinggi. Beberapa kriteria kualitas gonad yang memengaruhi harga beli di pelelangan adalah jenis, negara asal, warna, tekstur, ukuran, rupa, kesegaran, dan rasa. Diantara kriteria tersebut warna, kesegaran dan negara asal merupakan faktor terpenting dalam menentukan harga. Berdasarkan warnanya, mutu gonad bulu babi dapat dikelompokkan menjadi mutu sangat baik (Grade A) dengan gonad berwarna kuning atau orange terang, mutu baik (Grade B) dengan warna gonad merah muda atau kuning pucat (krem) dan mutu jelek (reject) dengan gonad berwarna coklat (Penfold dan Boyle 1996; Murniyati dan Setiabudi 1998 dalam Ratna 2002).
Cangkang dari jenis bulu babi tertentu dilapisi oleh pigmen cairan hitam yang stabil. Cairan ini dapat digunakan sebagai pewarnaan jala dan kulit. Cangkang dari bulu babi juga diminati sebagai barang perhiasan. Sedangkan organ dari sisa pengolahan bulu babi biasanya berupa cangkang dan organ dalam (jeroan) dapat diproses lebih lanjut menjadi pupuk (Zaitsev et al 1969 dalam Ratna 2002).
Umumnya gonad bulu babi dijual dalam keadaan segar, karena memiliki nilai paling tinggi. Beberapa kriteria kualitas gonad yang memengaruhi harga beli di pelelangan adalah jenis, negara asal, warna, tekstur, ukuran, rupa, kesegaran, dan rasa. Diantara kriteria tersebut warna, kesegaran dan negara asal merupakan faktor terpenting dalam menentukan harga. Berdasarkan warnanya, mutu gonad bulu babi dapat dikelompokkan menjadi mutu sangat baik (Grade A) dengan gonad berwarna kuning atau orange terang, mutu baik (Grade B) dengan warna gonad merah muda atau kuning pucat (krem) dan mutu jelek (reject) dengan gonad berwarna coklat (Penfold dan Boyle 1996; Murniyati dan Setiabudi 1998 dalam Ratna 2002).
G. Komposisi
Kimia Gonad Bulu Babi
Gonad bulu
babi merupakan makanan tambahan yang kaya akan nilai gizi. Lee dan Hard (1982)
dalam Azis (1995)diacu dari Ratna (2002) melaporkan bahwa dari analisis protein
bulu babi, ternyata didalamnya terkandung sekitar 28 macam asam amino. Selain
itu gonad bulu babi juga kaya akan vitamin B kompleks, vitamin A dan mineral
(Kato dan Schoeroter 1985dalam Azis 1995 diacu dari Ratna 2002). Pada tabel
dapat dilihat hasil analisis proksimat beberapa gonad bulu babi dan menyajikan
komposisi kimia gonad bulu babi Diadema
setosum.
Gonad bulu babi sebagai organ reproduksi merupakan timbunan protein berkualitas tinggi yang kaya akan asam-asam amino yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Dari hasil analisa kualitatif gonad bulu babi Diadema setosum diketahui bahwa dalam gonad tersebut ditemukan lima asam amino esensial bagi orang dewasa yaitu lisin, metionin, fenilalanin, threonin, dan valin, dua asam amino esensial bagi anak-anak yaitu arginin dan histidin, juga ditemukan asam amino esensial lain yaitu asam aspartat, asam glutamat, glisin, serin (Ismail et al 1981 dalam Darsono 1982 diacu dari Ratna 2002). Beberapa jenis asam amino yang terkandung dalam gonad bulu babi sangat berperan dalam karakterisasi rasa spesifik gonad bulu babi (Fuke dalamShahidi dan Botta 1992). Jenis-jenis asam amino tersebut adalah glisin, valin, alanin, methionin, dan asam glutamat. Selain itu pula nukleotida dari jenis IMP (Inosin Mono Phosphat) dan GMP (Guanosin Mono Phosphat) juga ikut memengaruhi karakterisasi rasa gonad bulu babi, terutama dalam pembentukan rasa ”umami”, yaitu rasa khas seperti golongan daging. Kandungan komponen aktif rasa dari gonad bulu babi disajikan pada table: 3.
Beberapa faktor yang memengaruhi komposisi kimia biota laut antara lain adalah jenis dan golongan ikan, umur, jenis kelamin, aktivitas pergerakan ikan. Musim, dan jenis makanan yang tersedia serta fase reproduksi biota tersebut. Gonad bulu babi merupakan makanan tambahan yang kaya akan nilai gizi. Lee dan Hard (1982) dalam Aziz (1995) melaporkan bahwa dari analisis protein gonad bulu babi, ternyata didalamnya terkandung sekitar 28 macam asam amino. Selain itu gonad bulu babi juga kaya akan vitamin B kompleks, vitamin A, dan mineral (Kato dan Schoeroter, 1985 dalam Aziz, 1995). Pada Tabel 1 dapat dilihat hasil analisis proksimat beberapa jenis gonad bulu babi dan Tabel 2 menyajikan komposisi kimia gonad bulu babi Diadema setosum.
Sumber: Murniyati dan Setiabudi
(1998) dalam Roslita (2000)
Sumber: Ismail et al. (1982) dalam Darsono
(1986)
Gonad
bulu babi sebagai organ reproduksi merupakan timbunan protein berkualitas
tinggi yang kaya akan asam-asam amino yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
manusia. Dari analisis kualitatif gonad bulu babi Diadema setosum diketahui bahwa dalam gonad tersebut ditemukan lima
asam amino essensial bagi orang dewasa, yaitu lisin, methionin, fenilalanin,
threonin, dan valin, dua asam amino essensial bagi anak-anak, yaitu arginin dan
histidin, serta ditemukan asam amino semi essensial yaitu sistin. Selain itu
masih ditemukan asam amino yang tidak essensial yaitu asam aspartat dan asam
glutamat, glisin, dan serin (Ismail et
al., 1981 dalam Darsono, 1982).
Asam-asam amino essensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis di
dalam tubuh manusia dan untuk mencukupi kebutuhan asam amino tersebut harus
dimasukkan ke dalam tubuh melalui makanan. Sedangkan asam amino non essensial
dapat disintesis dari asam amino yang lain atau dari asam keto secara aminasi
di dalam tubuh manusia (Winarno et al., 1980). Selain kaya asam amino, dalam
gonad bulu babi juga mengandung banyak asam lemak. Gonad bulu babi Strongylocentrotus droebachiencis mengandung
asam-asam lemak dari jenis 5-Oletinic yang
besarnya mencapai 10-21% dari total lemak. Yang termasuk asam lemak 5-Oletinic adalah asam lemak yang
mempunyai rantai ikatan 5-18=1; 5-20=1; 13-20=2; 1,5,11-20=3; 5,11,14-20=3; dan
5, 11, 12, 14-20=4 (Murniyati dan Setiabudi, 1998).
Shahidi
dan Botta dalam Roslita (2000)
melaporkan bahwa beberapa jenis asam amino yang terkandung dalam gonad bulu
babi sangat berperan dalam karakterisasi rasa spesifik gonad bulu babi.
Jenis-jenis asam amino tersebut adalah glisin, valin, alanin, methionin, dan
asam glutamat. Selain itu pula nukleotida dari jenis IMP (Inosin Mono Phosphat)
dan GMP (Guanosin Mono Phosphat) juga ikut mempengaruhi karakterisasi rasa
gonad bulu babi, terutama dalam pembentukan rasa “umami”, yaitu rasa khas
seperti golongan daging. Kandungan k```omponen aktif rasa dari gonad bulu babi
dapat dilihat pada Tabel 3.
Beberapa
faktor yang mempengaruhi komposisi kimia biota laut antara lain, jenis dan
golongan ikan, umur, jenis kelamin, aktivitas pergerakan ikan, musim, dan jenis
makanan yang tersedia serta fase reproduksi biota tersebut (Hadiwiyoto, 1993 dalam Setiabudi, 1998).
H. Peranan Bulu Babi dalam Ekosistem Lingkungan
Selain
pemanfaatannya sebagai bahan pangan, biota ini juga sangat berperan dalam
kesetimbangan ekosistem habitatnya. Seperti peran Diadema antillarum bagi terumbu karang diantaranya yaitu,
peningkatan jumlah populasi jenis ini mengakibatkan kematian larva atau karang
muda. Bila populasinya turun (absence grazing) karang akan ditumbuhi oleh alga
yang dapat berakibat pada kematian karang dewasa dan tidak adanya tempat bagi
larva karang (www.terangi.or.id.)
Kehadiran populasi jenis ini penting bagi terumbu karang sebagai penyeimbang. Kesetimbangan populasi Diadema antillarum akan menjaga kesetimbangan populasi alga dan karang. Sedangkan kematian massal Diadema antillarum berdampak pada penurunan drastis tutupan karang, menurunnya kehadiran Invertebrata yang biasanya menetap di wilayah ini. Selain itu, terumbu karang dapat didominasi oleh alga. Pada tahun 1995 ternyata ditemukan bahwa populasi yang sangat sedikit (pemulihannya membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun). Hilangnya induk menyebabkan jumlah larva juga sangat kurang. Meski telah mulai ada pemulihan Diadema, namun belum dapat diketahui apakah akan dapat mengembalikan terumbu karang yang hilang (www.terangi.or.id).
Kematian massal bulu babi pernah terjadi pada tahun 1983-1984 di Pasifik Barat, yang dimulai dari Panama di awal Januari 1983 yang menyebar ke Karibia, Teluk Meksiko, Bahama, Bermuda dengan tingkat kematian mencapai 93-100%. Penyebabnya tidak diketahui dengan jelas, namun diduga terinfeksi bakteri. Dampak kematian bulu babi ini menyebabkan biomassa alga meningkat, karena makanan utama bulu babi adalah alga coklat, alga hijau dan lamun (Lasker dan Giese 1952; Herring 1972; Chiu 1985 dalam Azis 1993 diacu dari Ratna 2002). Wilayah perairan St. Croix mengalami peningkatan biomassa alga yang pesat hingga 400-500%, hanya berselang 5 hari setelah kematian bulu babi (www.terangi.or.id).
Bila pada masa sebelum kematian alga perairan tersebut didominasi oleh turf alga dan crustose algae, maka setelah kematian massal bulu babi perairan itu didominasi oleh makro alga seperti Sargassum dan Turbinaria turbinata. Selain itu, kematian massal ini menyebabkan tutupan alga crustose, tutupan karang, dan gorgonian menurun drastis. Pada kasus ini, kompetitor bulu babi yang memakan turf alge ternyata tidak menunjukkan penambahan populasi yang berarti. Peningkatan populasi kompetitor baru meningkat berarti setelah beberapa tahun dari kematian missal.
Kehadiran populasi jenis ini penting bagi terumbu karang sebagai penyeimbang. Kesetimbangan populasi Diadema antillarum akan menjaga kesetimbangan populasi alga dan karang. Sedangkan kematian massal Diadema antillarum berdampak pada penurunan drastis tutupan karang, menurunnya kehadiran Invertebrata yang biasanya menetap di wilayah ini. Selain itu, terumbu karang dapat didominasi oleh alga. Pada tahun 1995 ternyata ditemukan bahwa populasi yang sangat sedikit (pemulihannya membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun). Hilangnya induk menyebabkan jumlah larva juga sangat kurang. Meski telah mulai ada pemulihan Diadema, namun belum dapat diketahui apakah akan dapat mengembalikan terumbu karang yang hilang (www.terangi.or.id).
Kematian massal bulu babi pernah terjadi pada tahun 1983-1984 di Pasifik Barat, yang dimulai dari Panama di awal Januari 1983 yang menyebar ke Karibia, Teluk Meksiko, Bahama, Bermuda dengan tingkat kematian mencapai 93-100%. Penyebabnya tidak diketahui dengan jelas, namun diduga terinfeksi bakteri. Dampak kematian bulu babi ini menyebabkan biomassa alga meningkat, karena makanan utama bulu babi adalah alga coklat, alga hijau dan lamun (Lasker dan Giese 1952; Herring 1972; Chiu 1985 dalam Azis 1993 diacu dari Ratna 2002). Wilayah perairan St. Croix mengalami peningkatan biomassa alga yang pesat hingga 400-500%, hanya berselang 5 hari setelah kematian bulu babi (www.terangi.or.id).
Bila pada masa sebelum kematian alga perairan tersebut didominasi oleh turf alga dan crustose algae, maka setelah kematian massal bulu babi perairan itu didominasi oleh makro alga seperti Sargassum dan Turbinaria turbinata. Selain itu, kematian massal ini menyebabkan tutupan alga crustose, tutupan karang, dan gorgonian menurun drastis. Pada kasus ini, kompetitor bulu babi yang memakan turf alge ternyata tidak menunjukkan penambahan populasi yang berarti. Peningkatan populasi kompetitor baru meningkat berarti setelah beberapa tahun dari kematian missal.
III.
METODE PENELITIAN
Bulu
babi (Tripneustes gratilla L)
diperoleh dari pantai desa Rutong, kecamatan Baguala, kota Ambon dengan cara
koleksi bebas dari individu dewasa diambil gonadnya dan dipotong kecil-kecil,
kemudian ditimbang dan dikeringkan dalam oven pada suhu 45OC sampai
beratnya konstan. Setelah beratnya konstan, gonad bulu babi (Tripneustes gratilla L) dihaluskan
kemudian diekstraksi selama ± 2 jam dengan menggunakan pelarut petroleum
benzene untuk mengisolasi minyak. Ekstrak yang diperoleh ditransesterifikasi
dengan menggunakan katalis boron trifluorida (BF3) 15% dalam
methanol ± 90 menit. Hasil transesterifikasi kemudian dianalisis dengan
menggunakan GC-MS (Shimadzu QP-2010) untuk mengidentifikasi metil ester asam
lemak dalam gonad bulu babi (Tripneustes
gratilla L) yang diikat oleh katalis BF3 15% dalam methanol.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komponen lemak pada biota laut,
seperti bulu babi banyak mendapat perhatian selama ini karena mempunyai efek
kesehatan, diantaranya adalah kemampuannya untuk menurunkan kadar kolesterol
darah pada manusia dan dari segi pangan lemak sangat penting karena fungsinya
sebagai penentu cita rasa (Chasanah dan Andamari, 1998).
Pada umumnya, biota laut banyak
mengandung asam lemak esensial mencakup golongan asam lemak tak jenuh jamak (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) tipe cis, khususnya dari kelompok asam lemak
Omega-3 (misalnya asam α-linolenat, EPA, dan DHA) dan asam lemak Omega-6
(misalnya asam linoleat).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
ekstrak yang diperoleh dari isolasi minyak gonad bulu babi (Tripneustes
gratilla L) adalah sebesar 14,674%. Hasil transesterifikasi minyak gonad
bulu babi (Tripneustes gratilla L) dengan katalis BF3 15%
dalam metanol tampak pada Tabel 1.
Dari Tabel 1. Dapat dilihat minyak
gonad bulu babi (Tripneustes gratilla L) mengandung lima asam lemak
jenuh, yakni miristat, pentadekanoat, palmitat, stearat dan arakhidat dan dua
asam lemak tak jenuh tunggal yaitu asam palmetoleat dan asam oleat. Kelima asam
lemak jenuh dapat meningkatkan kolesterol serum dan kadar lipoprotein LDL
sedangkan kedua asam lemak tak jenuh tunggal tergolong netral, yakni tidak
jahat dan tidak pula bersifat menguntungkan untuk kesehatan tubuh. Jenis asam
lemak ini tidak menyebabkan darah menjadi lengket. Selain itu minyak gonad bulu
babi (Tripneustes gratilla L) juga mengandung asam lemak tak jenuh jamak
(PUFA), yakni linolenat (omega-3). Dari segi gizi asam palmitat merupakan
sumber kalori penting namun memiliki daya antioksidasi yang rendah (Droke and
Lukaski, 2008).
Dari hasil tersebut di atas dapat
dilihat bahwa asam lemak gonad bulu babi (Tripneustes gratilla L) didominasi
oleh asam palmitat (43,42%) dan asam linolenat (11.95%). Puncak metil ester
asam palmitat (C17H34O2) dengan waktu retensi
20,117, sedangkan puncak metil ester asam linolenat (C19H32O2)
muncul dengan waktu retensi 23,869.
Asam linolenat adalah asam lemak
yang baik untuk tubuh dan sangat berguna bagi kesehatan, merupakan asam lemak
tidak jenuh dengan tiga ikatan ganda menurunkan kolesterol serum serta LDL
serta menyebabkan darah menjadi kurang lengket. Salah satu isomer asam
linolenat, asam α-linolenat (ALA), adalah asam lemak Omega-3 yang dikenal
memiliki khasiat lebih daripada asam-asam lemak lain, khususnya dalam mencegah
rusaknya membran sel. Karena asam lemak omega-3 merupakan asam lemak esensial
yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia, maka omega-3 harus
terdapat dalam makanan yang dikonsumsi manusia. (Mostofsky et al. 2001).
Chasanah dan Andamari (1998) juga
mendapatkan asam lemak dalam gonad bulu babi (Tripneustes gratilla L) didominasi
oleh asam palmitat (42%) dan asam lemak esesial dari jenis asam linolenat (3%).
Selain kedua jenis asam lemak tersebut juga terdapat asam lemak C18:0 dan C20.
Jenis dan jumlah asam lemak yang diisolasi berbeda dengan hasil yang diperoleh
dalam penelitian ini. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi alam perairan dan
jenis makanan yang dikonsumsi oleh bulu babi tersebut.
Floreto (1998), menemukan bahwa rumput
laut berwarna hijau kaya akan C16 dan C18 PUFA (16:4n-3, 18:3n-3 dan 18:4n-3);
rumput laut berwarna merah memiliki kandungan C20 PUFA (20:4n-3 dan 18:4n-3)
dan C20 (20:4n-6 dan 20:5n-3) yang tinggi; sedangkan rumput laut berwarna
coklat memiliki kandungan C18 (18:3n-3 dan 18:4n-3) dan C20 (20:4n-6 dan
20:5n-3) PUFA yang berlimpah. Kebiasaan memakan rumput laut mempengaruhi
kandungan asam lemak esensial yang terkandung dalam gonad bulu babi (Tripneustes
gratilla L). Pada lokasi pengambilan sampel hanya terdapat jenis rumput
laut yang berwarna hijau, hal tersebut turut mempengaruhi kandungan asam lemak
dari gonad bulu babi (Tripneustes gratilla L).
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Bulu
babi Tripneustes gratilla L termasuk
dalam kelas Echinoidea, dari filum
Echinodermata (binatang berkulit
duri). Ciri umum dari kelas Echinoidea adalah biota ini tidak mempunyai lengan
bebas, tetapi hampir seluruh tubuhnya mengandung duri-duri yang dapat
digerakkan (Suwignyo, 1989 dalam Roslita,
2000). Berdasarkan bentuk tubuhnya bulu babi dibagi menjadi bulu babi beraturan
(regular echinoids) dan bulu babi tidak beraturan (irregular echinoids) (Hyman,
1955 dalam Roslita, 2000), dan hanya
bulu babi beraturan saja yang dapat dimakan gonadnya (Darsono, 1982 dalam Roslita, 2000). Bulu babi Tripneustes gratilla L tergolong
kelompok bulu babi beraturan. Pada umumnya bulu babi beraturan mempunyai
struktur cangkang berbentuk bola yang biasanya sirkular atau oval dan agak
pipih pada bagian oral dan aboral. Permukaan cangkang dilengkapi duri dengan
panjang yang berbeda tergantung jenisnya, serta dapat digerakkan (Barnes, 1987 dalam Roslita, 2000). Cangkang tersusun
dari lempengan-lempengan kapur yang membentuk pola pentaradial simetri. Lima
pasang lempeng ambulakral tersusun bergantian dengan 5 pasang lempeng
interambulakral. Lempeng ambulakral berukuran lebih kecil dan mempunyai lubang
tempat penjuluran kaki tabung. Sedangkan lempeng interambulakral berukuran
lebih besar dan melebar. Duri-duri utama terletak pada lempeng interambulakral,
sedangkan duri-duri kecil tersebar di semua lempeng ambulakral (Sugiarto dan
Supardi, 1995).
Minyak gonad bulu babi (Tripneustes
gratilla L) memiliki kandungan asam lemak jenuh 5 jenis, yaitu
miristat, pentadekanoat, palmitat, stearat dan arakhidat, serta terdapat asam
lemak tak jenuh 3 jenis yang terdiri dari 2 asam lemak tak jenuh tunggal
(MUFA), yaitu asam palmetoleat dan asam oleat dan 1 asam lemak tak jenuh
jamak (PUFA),yaitu linolenat. Pada umumnya, biota laut banyak mengandung
asam lemak esensial mencakup golongan asam lemak tak jenuh jamak (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) tipe cis, khususnya dari kelompok asam lemak
Omega-3 (misalnya asam α-linolenat, EPA, dan DHA) dan asam lemak Omega-6
(misalnya asam linoleat). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ekstrak
yang diperoleh dari isolasi minyak gonad bulu babi (Tripneustes gratilla L)
adalah sebesar 14,674%. Hasil transesterifikasi minyak gonad bulu babi (Tripneustes
gratilla L) dengan katalis BF3 15% dalam metanol tampak pada
Tabel 1.
Dari Tabel 1. Dapat dilihat minyak
gonad bulu babi (Tripneustes gratilla L) mengandung lima asam lemak
jenuh, yakni miristat, pentadekanoat, palmitat, stearat dan arakhidat dan dua
asam lemak tak jenuh tunggal yaitu asam palmetoleat dan asam oleat. Kelima asam
lemak jenuh dapat meningkatkan kolesterol serum dan kadar lipoprotein LDL
sedangkan kedua asam lemak tak jenuh tunggal tergolong netral, yakni tidak
jahat dan tidak pula bersifat menguntungkan untuk kesehatan tubuh. Jenis asam
lemak ini tidak menyebabkan darah menjadi lengket. Selain itu minyak gonad bulu
babi (Tripneustes gratilla L) juga mengandung asam lemak tak jenuh jamak
(PUFA), yakni linolenat (omega-3). Dari segi gizi asam palmitat merupakan
sumber kalori penting namun memiliki daya antioksidasi yang rendah (Droke and
Lukaski, 2008).
5.2. Saran
Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh konsumsi gonad bulu babi terhadap
kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2000. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Anonimus. 2003. Bulu babi Merah, Hewan yang Nyaris
"Hidup Selamanya" [online].
www.kompas.com/teknologi/news/0311/25/163940.htm. 22 April 2007
Anonimus. WPI edisi November 2005, no.27. Direktorat Pemasaran Dalam
Negeri.
Anonimus. 2006. Saudara Tua Manusia Tubuhnya Berduri [online]
.http://www.kompas.com/ver1/Iptek/0611/10/152724.htm 3 Mei 2007 Anonimus. 2007.
Bulu Babi [online].www.pipp.dkp.go.id/pipp2/species.html?idkat=
12&idsp=259. 22 April 2007
Aziz,
A. 1993. Beberapa Catatan tentang Perikanan Bulu Babi. Oseana Vol. 18 No. 2.
Pusat Pengembangan Oseanologi. Indonesia – LIPI. Jakarta: Hal. 65-75.
Chasanah,
E. dan R. Andamari, 1998. Komposisi Kimia, Profil Asam Lemak dan Asam Amino
Gonad Bulu Babi Tripneustes gratilla dan Salmacis sp dan Potensi
Pengembangannya. Prosiding Seminar Kelautan LIPI – UNHAS Ke 1, Balitbang
Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanologi–LIPI Ambon, Maret 1998 : 269–274.
Darsono,
P. 1982. Bulu Babi sebagai Sumber Protein Hewani. Oseana Vol. VIII No. 5.
Lembaga Oseanologi Nasional – LIPI. Jakarta: Hal. 1 – 7.
Darsono,
P. 1986. Gonad Bulu Babi. Oseana Vol. XI No. 4 Pusat Pengembangan Oseanologi
Indonesia – LIPI. Jakarta: Hal. 151 – 162.
Darsono P dan Toso A V. 1987. Umur dan Pertumbuhan Bulu Babi Diadema
setosum Leske di Perairan Terumbu karang Gugus Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu.
Jakarta : Puslitbang Oseanologi LIPI
Droke,
E. A., and H. C. Lukaski, 2008. Dietary Fatty Acids and Minerals: Fatty
Acids in Foods and Theirs Health Implication. 3RD Ed. CRC Press Taylor
and Francis Group, Boca Raton.
Floreto,
E.A.T. 1998. Nutritional Value (Fatty Acids) of Some Japanese Seaweeds For
The Culture Of The Tropical White Sea Urchin, Tripneustes gratilla. National
Symposium on Marine Science. Cebu City, Philippines.
Gilbert,
H. F. 2000. Basic Concepts in Biochemistry: A Student’s Survival Guide.
McGraw Hill Companies. New York.
Gunarto dan Setabudi E. 2002. Perkembangan Gonad Bulu Babi (Tripneustes
gratilla) di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Jakarta : Badan Riset
Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Hasan F.
2002. Pengaruh konsentrasi garam terhadap mutu produk fermentasi gonad bulu
babi jenis Tripneustes gratilla (L) [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi
Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Kasim,
Ma’ruf. 1999. Aktivitas Merumput dan Pertumbuhan Bulu Babi (Tripneustes gratilla Linnaeus) pada
Habitat Lamun di Perairan Bone-Bone Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara.
Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kurnia A. 2006. Meraup Yen dengan Memelihara Bulu Babi [online].
www.beritaiptek.com. 22 April 2007
Leimena,
H. E. P. 2002. Potensi Pemanfaatan Beberapa Jenis Keong Laut (Moluska:
Gastropoda). Jurnal Hayati, Volume 9 Nomor 3: 97-99.
Mostofsky.
D. I., S. Yehuda and N. Salem, 2001. Fatty acids: Physiological and
Behavioral Functions. Humana Press, Totowa, New Jersey.
Mukai,
H. and S. Nojima. 1985. A Preliminary Study on Grazing and Defecation Rates of
Sea Grass Grazer Tripneustes gratilla
(Echinodermata: Echinoids) in a Papua New Guinean Sea Grass bed. Special
Publication of Mukaishima Marine Biological Station. 185 – 192.
Murniyati
dan Setiabudi. 1998. Bulu Babi, Berbahaya Namun Indah dan Bermanfaat.
Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 4 No. 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan. Jakarta.
Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta : Djambatan
Pratt H S. 1935. A Manual of The Common Invertebrates Animals. McGraw Hill.
Company Inc : New York
Ratna F D. 2002. Pengaruh penambahan gula dan lama fermentasi terhadap mutu
pasta fermentasi gonad bulu babiDiadema setosum dengan Lactobacillus plantarum
sebagai kultur starter [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Roslita,
Lia. 2000. Pengaruh Garam, Gula, dan Lama Fermentasi terhadap Mutu Pasta Gonad
Bulu Babi Echinothrix Calamaris. Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Siahaya,
Donna Marselia. 2009. Analisis Kandungan Asam Lemak pada Gonad Bulu Babi (Tripneustes gratilla L). Ichtyos, Vol. 8
No. 2, Juli 2009: 75-79.
Sugiarto
dan Supardi. 1995. Beberapa Catatan Tentang Bulu Babi Marga Diadema. Oseana
Vol. XX No. 4 Pusat Pengembangan Oseanologi Indonesia – LIPI. Jakarta. Hal:
35-41.
Shahidi F and Botta. 1994. Seafoods Chemistry, Processing Technology and
Quality. London : Blackie Academic Professional
Timotius, S. 2003. Biologi Terumbu Karang1 [online]. www.terangi.or.id/
publications/pdf/ biologikarang.pdf. 22 April 2007
Winarno,
F.G. 2000. Kimia Pangan dan Gizi, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Winarno,
F.G., S. Fardiaz, D. Fardiaz. 1980. Pengantar
Teknologi Pangan. Jakarta.
sangat...sangat membantu buat penelitian saya... terimakasih banyak
ReplyDelete