-->

Friday, April 5, 2013

Makalah Kehalalan Produk Pangan

Tugas Terstruktur
Mata kuliah Peraturan Pangan

“Kehalalan Produk Pangan”







Disususn Oleh :

1.     Fika Puspita                      A1M012001
2.     Dwi Apriyanti K.               A1M012002
3.     Fitri Wulandari                  A1M012003
4.     Riri Maisevela                   A1M012007
5.     Nurul Aeni                        A1M012013


KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
PURWOKERTO
2013



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat memiliki ilmu untuk menyusun makalah ini. Terimakasih pula kami ucapkan kepada para Dosen Pengampu Peraturan Pangan Universitas Jenderal Soedirman serta teman teman yang membantu kami menyelesaikan tugas makalah ini,
Sebagai Negara yang berpenduduk mayoritas Islam, sangatlah ironis, bila harus mengimpor makanan halal dari Negara lain, terlebih dari Negara non Muslim. Di sisi lain, permintaan pasar global terhadap produk dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan trend yang terus meningkat. Untuk dapat meraih peluang pasar, maka pengetahuan tentang kebutuhan konsumen merupakan barometer yang sangat berharga.
Untuk itu makalah ini akan membahas mengenai Kehalalan Produk Pangan yang telah kami kemas dengan harapan makalah ini bisa bermanfaat sebagai bahan pelajaran dan kita semua mengetahui akan makan dan minuman yang halal yang beredar saat ini.

                                                                                    Purwokerto, April 2013


                                                                                    Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Perkembangan pembangunan di Indonesia telah membawa dampak yang berarti bagi masyarakat. Seiring dengan itu, adanya perubahan dalam hal kesejahteraan masyarakat baik yang mengalami peningkatan maupun penurunan telah memberikan dampak juga terhadap perubahan gaya hidup dan cara pandang masyarakat terutama dalam hal konsumsi makanan dan minuman. Perubahan gaya hidup dan cara pandang masyarakat terutama dalam hal konsumsi makanan dan minuman ini mau tidak mau harus disikapi oleh semua pihak yang berkepentingan, baik dari kalangan dunia usaha pangan maupun mereka yang bergerak dalam
tataran pengambilan kebijakan.
Sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar yaitu 193.600.000 dari total jumlah penduduk 220 juta jiwa atau 88 % (BPS,2007) sangatlah wajar jika pangan halal menjadi isu yang cukup menarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Hal ini dikarenakan semakin pesatnya perkembangan teknologi pangan terutama agroindustri pangan olahan yang mengakibatkan penggunaan ingredient dalam pengolahan pangan menjadi sangat bervariasi. Perkembangan penggunaan ingredient ini didorong oleh kebutuhan akan ingredient dengan sifat-sifat tertentu yang diinginkan dengan harga yang murah. Masalah yang kemudian timbul adalah
banyaknya ingredient pangan baik bahan baku utama maupun bahan aditifnya yang sulit ditentukan kehalalan asal bahan pembuatnya. Padahal, kejelasan suatu informasi suatu produk pangan sangat penting agar konsumen mengetahui produk yang dikonsumsi tersebut adalah produk yang halal atau tidak jelas ketentuan hukumnya (Apriyantono, 2005).
Disamping itu, dalam Al Quran yang merupakan pedoman utama umat islam, Allah telah memberikan rambu-rambu yang jelas tentang perintah makanan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah 168, “Hai manusia, makanlah segala sesuatu yang ada di bumi ini yang halal dan baik dan jangan kamu mengikuti jejak setan karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. Serta di dalam Surat Al-Maidah ayat 88 Allah SWT menyatakan bahwa ”Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. Hal ini mengungkapkan bahwa seseorang hendaknya mengkonsumsi makanan yang halal serta baik kandungan gizinya.

B. Rumusan masalah
Dari latar belakang masalah yang sudah dijelaskan diatas,maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan pangan halal?
2. Apa saja produk makanan atau minuman yang masih diragukan kehalalannya ?
3. Bagaimana produk hukum tentang pangan halal ?
4. Bagaimana standardisasi pangan halal ?
5. Bagaimana sistem jaminan halal  ?
6. Bagaimana kehalalan suatu produk pangan menurut peraturan nasional atau internasional serta lembaga yang bersangkutan ?

C. Tujuan penulisan
1.Dapat menambah pengetahuan tentang kehalalan suatu produk pangan
2.Dapat mengetahui makanan yang halal dan baik untuk kita
3.Dapat memahami pengertian makanan halal dan makanan haram


BAB II
PEMBAHASAN

Ketika teknologi pangan dulu belum berkembang seperti saat ini, dimana tidak ada atau tidak banyak makanan dan minuman olahan yang beredar, masalah halal dan haramnya makanan dan minuman relatif tidak serumit sekarang, walaupun dari segi syar’i permasalahan selalu ada, terutama karena adanya perbedaan pendapat di antara para ulama. Meskipun demikian, perbedaan pendapat tersebut relatif tidak banyak dan relatif lebih mudah dipecahkan. Lain halnya pada keadaan sekarang, dimana teknologi telah berkembang sedemikian rupa sehingga hal-hal yang dulunya tidak ada menjadi ada dengan bantuan teknologi. Sebagai contoh, dahulu orang membuat roti cukup dengan menggunakan bahan dasar terigu, ragi dan air. Akan tetapi, sekarang tidak cukup hanya dengan bahan utama itu saja, tetapi perlu ada tambahan bahan lainnya yang disebut dengan bahan tambahan makanan seperti shortening (mentega putih), perisa atau flavor (bahan untuk menimbulkan aroma dan rasa tertentu), dan anticacking agent. Di antara bahan-bahan tambahan tersebut banyak yang bagi orang awam tidak mengetahui asal usulnya, akan tetapi bagi ahlinya telah diketahui bahwa di antara bahan tambahan makanan tersebut (ambil contoh shortening) ada yang mengandung lemak babi atau bahan yang dapat berasal dari lemak babi yang diperoleh melalui reaksi kimia dengan menggunakan bahan awal salah satu komponen yang berasal dari lemak babi. Sehingga, diperlukan usaha yang sangat keras untuk mengetahui mana yang halal (tidak mengandung unsur babi) dan mana yang tidak halal
Sekarang banyak produk-produk pangan yang kehalalannya masih diragukan.Misalnya rhum, rhum amat sering dipakai dalam pembuatan roti Black Forest.Di toko bahan roti, nama rhum ini sedemikian harum, seharum baunya yang menyengat, sebagaimana umumnya bahan lain yang berasal dari alkohol.Meski harumnya wangi namun Rhum ini termasuk dalam kategori kham(minuman yang memabukan), maka umat Islam dilarang menggunakan rhum ini. Bukan hanya rhum saja,banyak produk pangan yang komponen bahan yang digunakan untuk membuat suatu produk pangan masih diragukan contohnya apabila kita impor cokelat dari luar negeri,kita mungkin belum mengetahui komponen bahan apa yang digunakan dalam pembuatan cokelat itu,seringkali di beberapa negara di Eropa dan Amerika, produsen pembuat cokelat sering mencampurkan alkohol, brandy, dll. Padahal alkohol, brandy dan sejenisnya termasuk  kelompok khamr(minuman yang memabukan). Lard adalah istilah khusus dalam bidang peternakan untuk menyebutkan lemak babi. Bahan ini sering sekali dimanfaatkan dalam proses pembuatan kue/roti karena mampu membuat roti/kue menjadi lezat, nikmat, renyah, lentur, dll.Oleh karena merupakan bahan yang berasal dari babi, maka menurut islam itu hukumnya haram.
Datangnya era globalisasi tidak dapat dihindari lagi. Hal ini akan membawa konsekuensi banyak makanan dan minuman impor baik yang jelas keharamannya atau yang tidak jelas keharamannya beredar di tengah-tengah kita. Ditambah lagi, banyak sekali bahan utama dan bahan tambahan makanan yang harus diimpor untuk memproduksi bahan pangan olahan di dalam negeri, dimana telah digambarkan di atas bahwa tidak mudah mengenali asal bahan tersebut, dengan kata lain tidak mudah menentukan kehalalan bahan tersebut. Dengan demikian, apabila tidak ada jaminan kehalalan suatu bahan atau produk pangan, maka akan sulit sekali bagi awam untuk memilih mana makanan dan minuman yang halal dan mana yang haram. Untuk itulah diperlukan adanya peraturan dan pengaturan yang jelas, yang menjamin kehalalan suatu bahan atau produk pangan.

1.Pangan halal
Pangan di dalam UU No 7 Tahun 1996 pasal 1 didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumen muslim, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Dalam khasanah ilmu Islam, hukum asal segala sesuatu (benda) yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satu pun yang haram, kecuali ada keterangan yang sah dan tegas tentang keharaman bahan tersebut. (An-nabani,2001).
Setiap muslim yang akan melakukan atau menggunakan, terlebih lagi mengkonsumsi sesuatu produk pangan sangat dituntun oleh agama untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan keharamannya. Halal berarti boleh, sedangkan haram berarti tidak boleh (Qardhawi, 2000). Selain masalah halal dalam perilaku yang menjadi standar minimal perilaku seorang muslim, Allah SWT juga mengatur halal dalam masalah makanan maupun minuman. Di dalam Qur’an Surat Al-Maidah ayat 3, Allah SWT berfirman bahwa Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena dicekik, yang (mati) karena dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mati) karena ditanduk, yang(mati) karena dimakan oleh binatang buas, kecuali yang dapat kamu sembelih dan yang disembelih untuk berhala.
Jika halal, ia boleh (halal) melakukan, mengunakan atau mengkonsumsinya; demikian pula sebalikya. Kata halalan, menurut bahasa Arab berasal dari kata, halla yang berarti “lepas” atau “tidak terikat”. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.
Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib bagi orang muslim.Halal dan baik secara jasmani dan rohani. Oleh karena itu mendapatkan pangan halal seharusnya merupakan hak bagi setiap konsumen Muslim.Makanan halal adalah makanan yang dibolehkan memakannya menurut Syariat Islam. Minuman halal adalah minuman yang dibolehkan meminumnya menurut Syariat Islam. Begitu sebaliknya untuk makanan dan minuman haram.
Sumber Syariat Islam yang lainnya adalah Ijma’ Sahabat dan Qiyas.Termasuk makanan dan minuman halal adalah (1) bukan terdiri dari atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh syariat Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih menurut Syariat Islam, (2) tidak mengandung sesuatu yang dihukumi sebagai najis menurut Syariat Islam, (3) tidak mengandung bahan penolong dan atau bahan tambahan yang diharamkan menurut syariat Islam, (4) dalam proses, menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana di atas atau benda yang dihukumkan sebagai najis menurut syariat Islam (Tim Penerbit Buku Pedoman Pangan Halal, 2001).
Makanan yang halal hakikatnya adalah makanan yang didapat dan diolah dengan cara yang benar menurut agama. Kini konsumen dapat memilih berbagai macam pilihan produk. Salah satunya adalah produk pangan yang sering kita konsumsi setiap hari. Sejumlah langkah bisa ditempuh konsumen  untuk mempertimbangkan produk yang akan dikonsumsi.
1.1 Dasar Hukum Pencantuman Label Halal
Peraturan tertinggi yang menyentuh pangan halal adalah Undang-undang Pangan RI No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yaitu di dalam Bab IV tentang Label dan Iklan Pangan Pasal 30 ayat 2 dan Pasal 34 ayat 1. Di dalam Pasal 30 ayat 2 disebutkan bahwa label pangan minimal mencantumkan nama produk, daftar yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal serta tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.
Bunyi dari ayat ini secara tersirat mengandung arti bahwa keterangan halal merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan pada label pangan. Akan tetapi sayangnya pengertian ini dimentahkan oleh penjelasan dari ayat tersebut yang menguraikan bahwa pencantuman keterangan halal pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Jadi pencantuman keterangan halal pada label pangan bukan merupakan suatu kewajiban untuk semua produsen pangan. Aturan tentang label dan iklan pangan kemudian diperinci di dalam Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Pada Pasal 3 ayat 2, persyaratan minimal keterangan yang harus tercantum dalam label tidak lagi mencantumkan keterangan halal sebagai salah satu persyaratan sebagaimana yang tercantum pada UU Pangan Pasal 30 ayat 2. Di dalam Peraturan Pemerintah ini aturan tentang label halal termaktub di dalam Pasal 10 dan Pasal 11. Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi dan memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label. Sedangkan Pasal 11 ayat 1 menyatakan bahwa untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat-ayat tersebut mempertegas penjelasan dari UU Pangan Pasal 30 ayat 2 yaitu pencantuman keterangan atau tulisan halal pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam.

1.2. Tinjauan Titik Kritis Halal
Yang menjadi penentu kehalalan suatu bahan pangan adalah diantaranya tidak mengandung alkohol atau komponen yang memabukkan, bukan hewan yang buas, bertaring, berkuku panjang dan babi. Untuk bahan makanan yang berasal dari tumbuhan dan ikan dijamin kehalalannya, yang menjadi titik kritis keharamannya adalah dari alat dan bahan yang ditambahkan ketika pengolahan, juga kemasan. Sedangkan untuk bahan pangan yang berasal dari hewan yang dihalalkan untuk dikonsumsi yang menjadi titikkritisnya adalah cara penyembelihan, alat dan bahan yang digunakan atau ditambahkan ketika pengolahan, juga pengemas. Makanan dan minuman yang diharamkan dalam Islam, secara garis besarnya dapat dikategorikan kepada beberapa kriteria sebagai berikut: bukan terdiri dari atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya, atau yang tidak disembelih menurut ajaran Islam. Tidak mengandung sesuatu yang digolongkan sebagai najis menurut ajaran Islam. Tidak mengandung bahan penolong dan atau bahan tambahan yang diharamkan menurut ajaran Islam. Dalam proses menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang memiliki kriteria terlarang.
Jenis binatang yang dilarang untuk dimakan :
a) Babi, anjing dan segala sesuatu yang lahir dari salah satu dari keduanya; berupa darah, air   liur, daging, tulang, lemak dan lainnya.
b) Semua binatang yang dipandang jijik oleh naluri manusia seperti kutu, lalat, ulat, kodok, buaya dan sejenisnya.
c)  Binatang yang mempunyai taring termasuk gading, seperti gajah, harimau dan sejenisnya.
d) Binatang yang mempunyai kuku pencakar yang makan dengan menangkar atau menyambar seperti burung hantu dan burung elang serta sejenisnya.
e) Binatang-binatang yang oleh ajaran Islam diperintah untuk dibunuhnya yaitu tikus, ular dan sejenisnya.
f) Binatang-binatang yang oleh ajaran Islam dilarang membunuhnya seperti semut, lebah, burung Hud-hud dan sejenisnya.
g) Setiap binatang yang mempunyai racun dan membahayakan apabila memakannya.

Termasuk juga yang diharamkan adalah bangkai yaitu binatang halal dimakan yang mati tanpa disembelih menurut cara Islam kecuali bangkai ikan dan belalang. Semua jenis darah haram dikonsumsi kecuali hati dan limpa dari jenis binatang halal. Semua jenis minuman adalah halal kecuali minuman yang memabukkan seperti arak dan yang dicampur dengan benda-benda najis, sedikit atau banyak. Untuk menentukan halal tidaknya suatu produk pangan, selain harus berasal dari bahan pangan yang tidak diharamkan juga untuk bahan pangan halal yang diolah harus diperhatikan cara penyembelihan, alat yang digunakan untuk menyembelih, alat yang digunakan untuk mengolah dan menyajikan, bahan tambahan dan kemasan.


2. Beberapa produk makanan dan minuman yang masih diragukan kehalalannya
1.Angciu
         Ang ciu sering sekali dipakai dalam mengolah Sea Food (masakan ikan), Chinese Food (masakan Cina), Japanese Food (masakan Jepang), Bakmi ikan, Bakso ikan, dll. Ang ciu ini bermanfaat untuk menghilangkan bau amis pada masakan ikan, sekaligus mampu mempertahankan aroma ikannya. Istilah dalam bahasa Inggris untuk ang ciu ini bermakna Red Wine dan dalam bahasa Indonesia berarti anggur merah/arak merah. Oleh karena merupakan arak (wine), maka dipastikan ang ciu ini harom dikonsumsi oleh orang Islam.

2.Emulsifier E471
 Emulsifier banyak jenisnya. Yang cukup terkenal dan sering dipakai adalah Lesitin dan E-number (Exxx). Telah diketahui oleh banyak ilmuwan di bidang peternakan, bahwa E471 adalah emulsifier yang berasal dari Babi. Hal ini insya Allooh dapat diketahui (dianalisis) dengan menggunakan analisis PCR. Analisis ini cukup efektif dalam mendeteksi kandungan babi dalam suatu bahan. Hampir dapat dipastikan apabila suatu bahan makanan mengandung babi, maka tidak akan dapat lolos karena yang dideteksi adalah DNA babi.

3. Lesitin
Lesitin merupakan salah satu bahan pengemulsi makanan. Bahan ini dapat berasal dari bahan nabati (tumbuhan) dan dapat pula dari bahan hewani.Bahan nabati yang paling sering dipakai dan disukai karena kualitasnya adalah kedelai, sehingga digunakan istilah Soy Lechitine atau Soya Lechitine (Soja Lechitine).Bahan hewani yang paling sering dipergunakan adalah dari babi. Di samping karena kualitasnya yang paling baik, juga karena harganya relatif murah.Hasil produk makanan yang menggunakan lesitin babi sangat bagus, rasanya gurih, nikmat, teksturnya lembut/ lunak, dll. Oleh karena teknologi makanan (bakery, dll) sudah sedemikian maju, maka apabila lesitin yang dipakai oleh suatu perusahaan berasal dari kedelai, maka mereka tidak akan mau ambil resiko produknya tidak akan laku dijual (dihindari konsumen muslim dan para vegeterian).
Untuk itu, apabila mereka menggunakan kedelai, maka akan langsung mencantumkan identitas ‘kedelai’ untuk mendampingi lesitin. Sehingga berhati-hatilah bila kita menjumpai suatu produk yang hanya ditulis ‘lesitin’ saja, tanpa embel-embel soja, soy, atau soya, karena bisa jadi lesitin tersebut berasal dari babi.

4.Rhum
Rhum adalah salah satu derivat alkohol yang dapat digolongkan dalam kelompok khamer. Rhum sering sekali terlibat dalam proses pembuatan roti (bakery).Jenis rhum yang paling sering dipergunakan adalah rhum semprot dan rhum oles (Toffieco, Jamaica, dll). Rhum amat sering pula dipakai dalam pembuatan roti Black Forest.Di toko bahan roti, nama rhum ini sedemikian harum, seharum baunya yang menyengat, sebagaimana umumnya bahan lain yang berasal dari alkohol. Oleh karena termasuk dalam kategori khamr, maka umat Islam dilarang menggunakan rhum ini.

5. Lard
Lard adalah istilah khusus dalam bidang peternakan untuk menyebutkan lemak babi. Bahan ini sering sekali dimanfaatkan dalam proses pembuatan kue/roti karena mampu membuat roti/kue menjadi lezat, nikmat, renyah, lentur, dll.Oleh karena merupakan bahan yang berasal dari babi, maka secara otomatis Lard ini dihukumi haram. Di Australia, salah seorang dosen senior di Fakultas Peternakan UGM pernah menemukan tulisan Lard dengan huruf Arab. Akan tetapi, tentunya meskipun ditulis dengan huruf Arab, tidak serta merta menjadi Lard ini halal.

6. Daging dan Jerohan Impor
Hati-hati ketika membeli produk daging beku di supermarket (mall, dll). Sebelum membeli daging, hendaklah kita tanyakan pada penjual (penjaga/pramuniaganya), dari manakah daging beku tersebut berasal.Pemerintah negara Swizerland tidak mengijinkan Syariat Islam maupun Yahudi dalam penyembelihan ternak diterapkan. Untuk itu, karena ternak (sapi, kambing, dll) tidak disembelih sebagaimana Syariat Islam, maka daging tersebut menjadi harom dimakan.Lain hal dengan New Zealand (Selandia Baru). Di negara tersebut Syariat Islam dalam penyembelihan telah ditegakkan. Namun sayangnya, seringkali jerohannya tidak terawasi dengan baik dan sering bercampur dengan produk harom.

7. Cokelat Impor
Ketika kita mendapatkan oleh-oleh cokelat dari teman yang pulang dari luar negeri terkadang kita sering terlalu senang dan kurang berhati-hati. Tanpa membaca ingredients-nya (bahan baku), maka kita sering langsung menyantapnya. Tentunya bukan cokelatnya yang diharomkan! Akan tetapi, seringkali di beberapa negara di Eropa dan Amerika, produsen pembuat cokelat sering mencampurkan alkohol, brandy, dll. Padahal kesemuanya itu jelas termasuk dalam kelompok khamr yang diharamkan bagi umat Islam. Untuk itu, apabila kita temukan dalam daftar ingredients-nya ada bahan yang harom, maka selaku umat Islam yang taat pada Syariat Islam, maka makanan tersebut harus kita tinggalkan (tidak kita santap).

8. Roti Black Forest
Mutiara Dahlia, M.Kes, dosen program Tata Boga Universitas Negeri Jakarta, dalam resep standarnya, penggunaan rhum memang tak dapat dielakkan. Black Forest merupakan jenis kue yang menggunakan rhum dalam kadar paling tinggi dibandingkan jenis kue lainnya, yaitu sekitar 50 cc.

3.Produk hukum tentang pangan halal
Dalam PP No. 69 tahun 1999 pasal 1, pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik menyangkut bahan baku pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan irradiasi pangan dan pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam. Makanan yang halal adalah semua jenis makanan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang/haram dan atau diolah/diprosesmenurut agama Islam (Keputusan bersama Menkes dan Menag No.  /me.kes/VIII/1985 dan No. 68 tahun 1985 pasal 1).
Perkembangan peraturan perundang-undangan terkait pangan halal di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 280/Menkes/Per/XI/1976 tentang Ketentuan Peredaran dan  Penandaan pada Makanan yang mengandung bahan berasal dari Babi.
Pasal 2 :
1) Pada wadah atau bungkus makanan yang diproduksi di dalam negeri maupun yang berasal dari impor yang mengandung bahan yang berasal dari babi harus dicantumkan tanda peringatan.
2) Tanda peringatan tersebut yang dimaksud pada ayat (1) harus berupa gambar babi dan tulisan yang berbunyi : “MENGANDUNG BABI” dan harus ditulis dengan huruf besar berwarna merah dengan ukuran sekurangkurangnya Universe Medium Corps 12, di dalam garis kotak persegi yang juga berwarna merah.
2. Permenkes RI No. 76/Menkes/Per/III/78 tentang label dan Periklanan Makanan, pasal 2 menyatakan bahwa : Kalimat, kata-kata, tanda lambang, logo, gambar dan sebagainya yang terdapat pada label atau iklan harus sesuai dengan asal, sifat, komposisi, mutu dan kegunaan makanan.
3.Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Kesehatan No. 427/Menkes/SKB/VIII/1985 dan No. 68/1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan.
Pasal 1 : Tulisan “halal” adalah tulisan yang dicantumkan pada label/penandaan yang memberikan jaminan tentang halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam
Pasal 2 :Produsen yang mencantumkan tulisan “halal” pada label atau penandaan makanan produknya bertanggungjawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam.
Pasal 4 :
1) Pengawasan preventif terhadap ketentuan pasal 2 Keputusan Bersama ini dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Departemen Kesehatan RI, cq. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
2) Dalam tim penilaian pendaftaran makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, diikutsertakan unsur Departemen Agama RI.
3) Pengawasan di lapangan terhadap pelaksanaan ketentuan pasal 2 Keputusan Bersama ini dilakukan oleh aparat Departemen Kesehatan RI.
4. UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 214 ayat (2) penjelasan butir (d) : Ketentuan lainnya misalnya pencantuman kata atau tanda halal yang menjamin bahwa makanan dan minuman yang dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan makanan.
5. UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, pasal (34) ayat (1) :
Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran peryataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.
 Penjelasan pasal 34 ayat (1) :
Dalam ketentuan ini benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya dapat dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu lainnya yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya
6. Keputusan Menkes RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan dan perubahannya berupa Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 924/Menkes/SK/VII/1996, beserta peraturan pelaksanaannya berupa Keputusan Dirjen POM No. HK. 00.06.3.00568 tentang Tata Cara Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, yang antara lain menjelaskan :
a. Persetujuan pencantuman tulisan “halal” pada label makanan diberikan oleh Dirjen POM
b. Produk makanan harus terdaftar pada Departemen Kesehatan RI
c. Persetujuan Pencantuman label “halal” diberikan setelah dilakukan pemeriksaan dan penilaian oleh Tim yang terdiri dari Departemen Kesehatan, Departemen Agama dan MUI
d. Hasil Penilaian Tim Penilai disampaikan kepada Komisi Fatwa MUI untuk dikeluarkan fatwanya, dan akhirnya diberikan Sertifikat Halal
e. Persetujuan Pencantuman “halal” diberikan oleh Dirjen POM berdasarkan sertifikat Halal yang berdasarkan MUI
f. Persetujuan berlaku selama 2 tahun sesuai dengan sertifikatnya

7. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
Pasal 7 butir (b) :
Pelaku usaha berkewajiban memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Pasal 8 ayat 1 butir (h) :
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal. Sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
8. PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
a. Pasal 10
i. Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut “halal” bagi umat manusia, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label
ii. Pernyataan tentang “halal” sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label
b. Pasal 11
i. Untuk mendukung kebenaran pernyataan “Halal” sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ii. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Pedoman dan Tata Cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama, dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
c. Pasal 59
Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan tentang label dan iklan dilaksanakan oleh Menteri Kesehatan
d. Pasal 60
i. Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, Menteri Kesehatan menunjuk pejabat untuk diserahi tugas pemeriksaan.
ii. Pejabat pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih dan ditunjuk oleh Menteri Kesehatan berdasarkan keahlian tertentu yang dimiliki.
iii. Pejabat pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kesehatan.
9. Penjelasan PP No. 69 tahun 1999 pasal 11 ayat 1 menyatakan Pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Menurut Sampurno (2001), sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pancantuman label dapat dikenakan :
1.Pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 360.000.000,- untuk pelanggaran terhadap UU No. 7 tahun 1996 pasal 34 ayat (1).
2.Tindak pidana penjara sampai 5 (lima) tahun atau denda sampai dua milyar rupiah untuk pelanggaran terhadap UU No. 8 tahun 1999 pasal 8 ayat (1) butir h.
3.Tindakan administratif terhadap pelanggaran PP No. 69 tahun 1999 yang meliputi :
Peringatan secara tertulis
Larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran.

4. Standardisasi pangan halal
 Standarisasi halal ini memiliki fungsi untuk memberikan kepastian, perlindungan, dan ketenangan konsumen, terutama umat Islam, dari mengkonsumsi suatu produk yang haram. Hal ini merupakan salah satu hak konsumen yang dilindungi dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satunya adalah pada pasal 4 (a) disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. Pasal ini menunjukkan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agamanya, alias halal. Selanjutnya, dalam pasal yang sama point (c) disebutkan bahwa konsumen juga berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Hal ini memberikan pengertian bahwa keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar, atau telah teruji terlebih dahulu. Dengan demikian, perusahaan tidak dapat serta merta mengklaim bahwa produknya halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah ditentukan.
 Standarisasi produk halal juga sangat dibutuhkan oleh para produsen untuk menarik minat konsumen Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ia juga penting untuk meningkatkan daya saing serta untuk kebutuhan ekspor, terutama untuk tujuan negara-negara muslim. Wujud dari standarisasi halal bagi produsen adalah ia harus memiliki sertifikat halal. Namun, disini terdapat permasalahan dalam pembuatan sertifikat halal. Yang mana para produsen merasa diberatkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat tersebut. Selain itu, hal tersebut menimbulkan terhambatnya pertumbuhan investasi di industri makanan, terutama bagi usaha skala kecil dan menengah.

5.Jaminan halal
Secara umum Sistem Jaminan Halal didefinisikan sebagai sebuah sistem manajemen jaminan proses poduksi halal produk-produk bersertifikat halal. Sedangkan secara spesifik bagi perusahaan, Sistem Jaminan Halal adalah sebuah sistem yang disusun dan dilaksanakan perusahan pemegang sertifikat halal dengan tujuan untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sehingga produk yang dihasilkan dapat dijamin kehalalannya. Pengembangan sistem jaminan halal didasarkan pada konsep total quality management yang terdiri atas empat unsur utama yaitu komitmen, kebutuhan konsumen, peningkatan tanpa penambahan biaya, dan menghasilkan barang setiap waktu tanpa rework, tanpa reject, dan tanpa inspection. Karena itu dalam prakteknya, penerapan sistem jaminan halal dapat dirumuskan untuk menghasilkan suatu sistem yang ideal, yaitu zero limit, zero defect dan zero risk (three zero concept). Artinya material haram tidak boleh ada pada level apapun (zero limit), tidak memproduksi produk haram (zero defect), dan tidak ada resiko merugikan yang diambil bila mengimplementasikan sistem ini (zero risk). Total Quality Management didefinisikan sebagai sebuah sistem dimana setiap orang didalam setiap posisi dalam organisasi harus mempraktekkan dan berpartisipasi dalam manajemen halal dan aktivitas peningkatan produktivitas. Manajemen halal bermula dan berakhir dengan pendidikan yang kontinyu (Apriyantono, 2001).

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1. Makanan halal adalah makanan yang dibolehkan oleh agama dari segi hukumnya dan makanan tersebut dapat diolah dengan baik dan benar menurut agama. Minuman halal adalah minuman yang dibolehkan oleh agama dari segi hukumnya dan minuman tersebut dapat diolah dengan baik dan benar menurut agama.
2. Jaminan pangan halal dan baik adalah mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing  produk pangan lokal Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri.
3. Pangan halal adalah Pangan yang memiliki cita rasa baik, sanitasi higine baik dan kandungan gizinya yang baik. Pangan yang baik berkaitan dengan jaminan bahwa pangan yang diproduksinya bergizi, rasanya enak, warnanya menarik, teksturnya baik, bersih, bebas dari hal-hal yang membahayakan tubuh seperti kandungan mikroorganisma patogen, komponen fisik, biologis, dan zat kimia berbahaya. Baik (Thayyib) adalah lezat, baik, sehat dan menentramkan.

B.    Saran
Makanan dan minuman tidak dapat sembarangan di produksi dan di konsumsi. Sebaiknya harus di pastikan terlebih dahulu apakah makanan itu halal ataukah haram.
 Saran agar masyarakat tidak mengkonsumsi makanan haram yaitu;
1.  menindak lanjuti produsen yang produksi makanan haram
2.  member sanksi terhadap orang yang mengkonsumsi makanan dan minuman haram
3.  member label halal terhadap yang halal,dan tidak member label halal terhadap yang haram.
4.  lebih berhati-hati dalam memilih ataupun mengkonsumsi produk pangan.


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Ali (2007). Tinjauan Islam terhadap Makanan dan Minuman. Tersedia di http://www.unpas.ac.id/file:///D:/aims/pangan%20halal/pangan%20dalam%20pandangan%20islam.htm. Diakses 6 Desember 2007

Al-Qur’an dan Terjemahnya. 1978. Departemen Agama RI. Jakarta
.
Darwanto, D.H. dan Ratnaningtyas, P.Y. (2007). Kesejahteraan Petani Dan Peningkatan Ketersediaan Pangan: Sebuah Dilemma?. Jurnal Ekonomi Rakyat. Tersedia http://www.ekonomi rakyat.org./pangan%20halal/kesejahteraan%20n%20keter%20pangan.htm. diakses 6 Desember 2007

Girindra, Aisjah. (2006). Menjamin Kehalalan dengan Label Halal. Persfektif Food Review Indonesia Vol.1 No 9. hal.12-13. Bogor.

Hariyadi, P. (2006). Mutu dan Ingridien Pangan. Editorial Food Review Indonesia Vol.1 No 5. Bogor

Anonim- (2006). Halal dan Sekaligus Praktis. Editorial Food Review Indonesia Vol.1 No 9. Bogor.

Santoso, Umar. (2006). Industri Pangan Halal : Bagaimana Prospeknya?. Editorial Food Review Indonesia Vol.1 No 5. Bogor.

1 comment: