Tugas Terstruktur
Mata kuliah Peraturan Pangan
Disususn Oleh :
1. Fika Puspita A1M012001
2. Dwi Apriyanti K. A1M012002
3. Fitri Wulandari A1M012003
4. Riri Maisevela A1M012007
5. Nurul Aeni A1M012013
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
PURWOKERTO
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat memiliki ilmu untuk menyusun makalah ini. Terimakasih pula kami
ucapkan kepada para Dosen Pengampu Peraturan Pangan Universitas Jenderal Soedirman
serta teman teman yang membantu kami menyelesaikan tugas makalah ini,
Sebagai
Negara yang berpenduduk mayoritas Islam, sangatlah ironis, bila harus mengimpor
makanan halal dari Negara lain, terlebih dari Negara non Muslim. Di sisi lain,
permintaan pasar global terhadap produk dalam beberapa tahun terakhir
menunjukkan trend yang terus meningkat. Untuk dapat meraih peluang pasar, maka
pengetahuan tentang kebutuhan konsumen merupakan barometer yang sangat
berharga.
Untuk itu makalah ini akan membahas mengenai Kehalalan Produk Pangan yang
telah kami kemas dengan harapan makalah ini bisa bermanfaat sebagai bahan
pelajaran dan kita semua mengetahui akan makan
dan minuman yang halal yang beredar saat ini.
Purwokerto,
April 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Perkembangan pembangunan di Indonesia telah membawa
dampak yang berarti bagi masyarakat. Seiring dengan itu, adanya perubahan dalam
hal kesejahteraan masyarakat baik yang mengalami peningkatan maupun penurunan
telah memberikan dampak juga terhadap perubahan gaya hidup dan cara pandang
masyarakat terutama dalam hal konsumsi makanan dan minuman. Perubahan gaya
hidup dan cara pandang masyarakat terutama dalam hal konsumsi makanan dan
minuman ini mau tidak mau harus disikapi oleh semua pihak yang berkepentingan, baik dari kalangan dunia usaha
pangan maupun mereka yang bergerak dalam
tataran
pengambilan kebijakan.
Sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar yaitu
193.600.000 dari total jumlah penduduk 220 juta jiwa atau 88 % (BPS,2007)
sangatlah wajar jika pangan halal menjadi isu yang cukup menarik untuk dikaji
dan diperbincangkan. Hal ini dikarenakan semakin pesatnya perkembangan
teknologi pangan terutama agroindustri pangan olahan yang mengakibatkan
penggunaan ingredient dalam pengolahan pangan menjadi sangat bervariasi.
Perkembangan penggunaan ingredient ini didorong oleh kebutuhan akan ingredient
dengan sifat-sifat tertentu yang diinginkan dengan harga yang murah.
Masalah yang kemudian timbul adalah
banyaknya
ingredient pangan baik bahan baku utama maupun bahan aditifnya yang
sulit ditentukan kehalalan asal bahan pembuatnya. Padahal, kejelasan suatu
informasi suatu produk pangan sangat penting agar konsumen mengetahui produk
yang dikonsumsi tersebut adalah produk yang halal atau tidak jelas ketentuan
hukumnya (Apriyantono, 2005).
Disamping itu, dalam Al Quran yang merupakan pedoman
utama umat islam, Allah telah memberikan rambu-rambu yang jelas tentang
perintah makanan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah 168, “Hai
manusia, makanlah segala sesuatu yang ada di bumi ini yang halal dan
baik dan jangan kamu mengikuti jejak setan karena sesungguhnya setan itu
musuh yang nyata bagimu”. Serta di dalam Surat Al-Maidah ayat 88 Allah SWT
menyatakan bahwa ”Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa
yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang
kamu beriman kepada-Nya”. Hal ini mengungkapkan bahwa seseorang hendaknya
mengkonsumsi makanan yang halal serta baik kandungan gizinya.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang
masalah yang sudah dijelaskan diatas,maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Apa yang
dimaksud dengan pangan halal?
2. Apa saja produk
makanan atau minuman yang masih diragukan kehalalannya ?
3. Bagaimana produk
hukum tentang pangan halal ?
4. Bagaimana
standardisasi pangan halal ?
5. Bagaimana sistem
jaminan halal ?
6. Bagaimana
kehalalan suatu produk pangan menurut peraturan nasional atau internasional
serta lembaga yang bersangkutan ?
C. Tujuan
penulisan
1.Dapat menambah pengetahuan tentang
kehalalan suatu produk pangan
2.Dapat mengetahui makanan yang halal
dan baik untuk kita
3.Dapat memahami pengertian makanan
halal dan makanan haram
BAB II
PEMBAHASAN
Ketika teknologi pangan dulu belum berkembang seperti saat ini, dimana tidak ada atau
tidak banyak makanan dan minuman olahan yang beredar, masalah halal dan
haramnya makanan dan minuman relatif tidak serumit sekarang, walaupun dari segi
syar’i permasalahan selalu ada, terutama karena adanya perbedaan pendapat di
antara para ulama. Meskipun demikian, perbedaan pendapat tersebut relatif tidak
banyak dan relatif lebih mudah dipecahkan. Lain halnya pada keadaan sekarang,
dimana teknologi telah berkembang sedemikian rupa sehingga hal-hal yang dulunya
tidak ada menjadi ada dengan bantuan teknologi. Sebagai contoh, dahulu orang
membuat roti cukup dengan menggunakan bahan dasar terigu, ragi dan air. Akan
tetapi, sekarang tidak cukup hanya dengan bahan utama itu saja, tetapi perlu
ada tambahan bahan lainnya yang disebut dengan bahan tambahan makanan seperti shortening
(mentega putih), perisa atau flavor (bahan untuk menimbulkan aroma dan rasa
tertentu), dan anticacking agent. Di antara bahan-bahan tambahan
tersebut banyak yang bagi orang awam tidak mengetahui asal usulnya, akan tetapi
bagi ahlinya telah diketahui bahwa di antara bahan tambahan makanan tersebut
(ambil contoh shortening) ada yang mengandung lemak babi atau bahan yang
dapat berasal dari lemak babi yang diperoleh melalui reaksi kimia dengan
menggunakan bahan awal salah satu komponen yang berasal dari lemak babi.
Sehingga, diperlukan usaha yang sangat keras untuk mengetahui mana yang halal
(tidak mengandung unsur babi) dan mana yang tidak halal
Sekarang banyak produk-produk pangan yang
kehalalannya masih diragukan.Misalnya rhum, rhum amat sering dipakai dalam pembuatan roti Black Forest.Di toko
bahan roti, nama rhum ini sedemikian harum, seharum baunya yang menyengat,
sebagaimana umumnya bahan lain yang berasal dari alkohol.Meski harumnya wangi
namun Rhum ini termasuk dalam kategori kham(minuman yang memabukan), maka umat Islam dilarang menggunakan rhum ini.
Bukan hanya rhum saja,banyak produk pangan yang komponen bahan yang digunakan
untuk membuat suatu produk pangan masih diragukan contohnya apabila kita impor
cokelat dari luar negeri,kita mungkin belum mengetahui komponen bahan apa yang
digunakan dalam pembuatan cokelat itu,seringkali di beberapa negara di
Eropa dan Amerika, produsen pembuat cokelat sering mencampurkan alkohol,
brandy, dll. Padahal alkohol,
brandy dan sejenisnya termasuk kelompok
khamr(minuman yang memabukan). Lard adalah istilah khusus dalam
bidang peternakan untuk menyebutkan lemak babi. Bahan ini sering
sekali dimanfaatkan dalam proses pembuatan kue/roti karena
mampu membuat roti/kue menjadi lezat, nikmat, renyah, lentur, dll.Oleh karena
merupakan bahan yang berasal dari babi, maka menurut islam itu hukumnya haram.
Datangnya era globalisasi tidak dapat dihindari lagi. Hal ini
akan membawa konsekuensi banyak makanan dan minuman impor baik yang jelas
keharamannya atau yang tidak jelas keharamannya beredar di tengah-tengah kita.
Ditambah lagi, banyak sekali bahan utama dan bahan tambahan makanan yang harus
diimpor untuk memproduksi bahan pangan olahan di dalam negeri, dimana telah
digambarkan di atas bahwa tidak mudah mengenali asal bahan tersebut, dengan
kata lain tidak mudah menentukan kehalalan bahan tersebut. Dengan demikian,
apabila tidak ada jaminan kehalalan suatu bahan atau produk pangan, maka akan
sulit sekali bagi awam untuk memilih mana makanan dan minuman yang halal dan
mana yang haram. Untuk itulah diperlukan adanya peraturan dan pengaturan yang
jelas, yang menjamin kehalalan suatu bahan atau produk pangan.
1.Pangan halal
Pangan di dalam UU No 7 Tahun 1996 pasal 1
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumen muslim, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan
atau pembuatan makanan atau minuman. Dalam khasanah ilmu Islam, hukum asal
segala sesuatu (benda) yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada
satu pun yang haram, kecuali ada keterangan yang sah dan tegas tentang
keharaman bahan tersebut. (An-nabani,2001).
Setiap muslim yang akan melakukan atau menggunakan,
terlebih lagi mengkonsumsi sesuatu produk pangan sangat dituntun oleh agama
untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan keharamannya. Halal berarti
boleh, sedangkan haram berarti tidak boleh (Qardhawi, 2000). Selain masalah halal dalam perilaku
yang menjadi standar minimal perilaku seorang muslim, Allah SWT juga mengatur
halal dalam masalah makanan maupun minuman. Di dalam Qur’an Surat Al-Maidah
ayat 3, Allah SWT berfirman bahwa ”Telah
diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih
bukan karena Allah, yang (mati) karena dicekik, yang (mati) karena dipukul,
yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mati) karena ditanduk, yang(mati)
karena dimakan oleh binatang buas, kecuali yang dapat kamu sembelih dan yang
disembelih untuk berhala”.
Jika
halal, ia boleh (halal) melakukan, mengunakan atau mengkonsumsinya; demikian
pula sebalikya. Kata halalan, menurut bahasa Arab berasal dari kata, halla yang berarti “lepas” atau “tidak terikat”. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang
boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan
ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Dapat juga diartikan sebagai segala
sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.
Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci,
dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib bagi orang
muslim.Halal dan baik secara jasmani dan rohani. Oleh karena itu mendapatkan
pangan halal seharusnya merupakan hak bagi setiap konsumen Muslim.Makanan halal
adalah makanan yang dibolehkan memakannya menurut Syariat Islam. Minuman halal
adalah minuman yang dibolehkan meminumnya menurut Syariat Islam. Begitu
sebaliknya untuk makanan dan minuman haram.
Sumber Syariat Islam yang lainnya adalah Ijma’
Sahabat dan Qiyas.Termasuk makanan dan minuman halal adalah (1) bukan terdiri dari atau mengandung
bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh syariat Islam untuk
memakannya atau yang tidak disembelih menurut Syariat Islam, (2) tidak mengandung
sesuatu yang dihukumi sebagai najis menurut Syariat Islam, (3) tidak mengandung
bahan penolong dan atau bahan tambahan yang diharamkan menurut syariat Islam,
(4) dalam proses, menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan
dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana di atas atau benda
yang dihukumkan sebagai najis menurut syariat Islam (Tim Penerbit Buku Pedoman
Pangan Halal, 2001).
Makanan yang halal hakikatnya adalah makanan yang didapat dan diolah dengan
cara yang benar menurut agama. Kini konsumen dapat memilih berbagai macam
pilihan produk. Salah satunya adalah produk pangan yang sering kita konsumsi
setiap hari. Sejumlah langkah bisa ditempuh konsumen untuk mempertimbangkan produk yang akan
dikonsumsi.
1.1 Dasar Hukum
Pencantuman Label Halal
Peraturan
tertinggi yang menyentuh pangan halal adalah Undang-undang Pangan RI No 7 Tahun
1996 tentang Pangan, yaitu di dalam Bab IV tentang Label dan Iklan Pangan Pasal
30 ayat 2 dan Pasal 34 ayat 1. Di dalam Pasal 30 ayat 2 disebutkan bahwa label
pangan minimal mencantumkan nama produk, daftar yang digunakan, berat bersih
atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan
ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal serta tanggal, bulan, dan
tahun kadaluarsa.
Bunyi dari ayat
ini secara tersirat mengandung arti bahwa keterangan halal merupakan salah satu
informasi yang wajib dicantumkan pada label pangan. Akan tetapi sayangnya
pengertian ini dimentahkan oleh penjelasan dari ayat tersebut yang menguraikan
bahwa pencantuman keterangan halal pada label pangan baru merupakan kewajiban
apabila setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah
halal bagi umat Islam. Jadi pencantuman keterangan halal pada label pangan
bukan merupakan suatu kewajiban untuk semua produsen pangan. Aturan tentang
label dan iklan pangan kemudian diperinci di dalam Peraturan Pemerintah No 69
Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Pada Pasal 3 ayat
2, persyaratan minimal keterangan
yang harus tercantum dalam label tidak lagi mencantumkan keterangan halal
sebagai salah satu persyaratan sebagaimana yang tercantum pada UU Pangan Pasal
30 ayat 2. Di dalam Peraturan Pemerintah ini aturan tentang label halal
termaktub di dalam Pasal 10 dan Pasal 11. Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa
setiap orang yang memproduksi dan memasukkan pangan yang dikemas ke dalam
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut
halal bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan
wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label. Sedangkan Pasal 11
ayat 1 menyatakan bahwa untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1, setiap orang yang memproduksi atau
memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan,
wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang
telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ayat-ayat tersebut mempertegas penjelasan dari UU Pangan Pasal 30 ayat
2 yaitu pencantuman keterangan atau tulisan halal pada label pangan merupakan
kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam
wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam.
1.2. Tinjauan Titik Kritis Halal
Yang menjadi
penentu kehalalan suatu bahan pangan adalah diantaranya tidak mengandung
alkohol atau komponen yang memabukkan, bukan hewan yang buas, bertaring,
berkuku panjang dan babi. Untuk bahan makanan yang berasal dari tumbuhan dan
ikan dijamin kehalalannya, yang menjadi titik kritis keharamannya adalah dari
alat dan bahan yang ditambahkan ketika pengolahan, juga kemasan. Sedangkan
untuk bahan pangan yang berasal dari hewan yang dihalalkan untuk dikonsumsi
yang menjadi titikkritisnya adalah cara penyembelihan, alat dan bahan yang
digunakan atau ditambahkan ketika pengolahan, juga pengemas. Makanan dan
minuman yang diharamkan dalam Islam, secara garis besarnya dapat dikategorikan
kepada beberapa kriteria sebagai berikut: bukan terdiri dari atau mengandung
bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh ajaran Islam untuk
memakannya, atau yang tidak disembelih menurut ajaran Islam. Tidak mengandung
sesuatu yang digolongkan sebagai najis menurut ajaran Islam. Tidak mengandung
bahan penolong dan atau bahan tambahan yang diharamkan menurut ajaran Islam.
Dalam proses menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan
dengan makanan yang memiliki kriteria terlarang.
Jenis binatang
yang dilarang untuk dimakan :
a) Babi, anjing dan segala sesuatu yang
lahir dari salah satu dari keduanya; berupa darah, air liur, daging, tulang, lemak dan lainnya.
b) Semua binatang yang dipandang jijik oleh
naluri manusia seperti kutu, lalat, ulat, kodok, buaya dan sejenisnya.
c) Binatang yang mempunyai taring termasuk
gading, seperti gajah, harimau dan sejenisnya.
d) Binatang yang mempunyai kuku pencakar yang makan dengan menangkar
atau menyambar seperti burung hantu dan burung elang serta sejenisnya.
e) Binatang-binatang yang oleh ajaran Islam
diperintah untuk dibunuhnya yaitu tikus, ular dan sejenisnya.
f) Binatang-binatang yang oleh ajaran Islam
dilarang membunuhnya seperti semut, lebah, burung Hud-hud dan sejenisnya.
g)
Setiap binatang yang mempunyai racun dan membahayakan apabila memakannya.
Termasuk
juga yang diharamkan adalah bangkai yaitu binatang halal dimakan yang mati
tanpa disembelih menurut cara Islam kecuali bangkai ikan dan belalang. Semua
jenis darah haram dikonsumsi kecuali hati dan limpa dari jenis binatang halal.
Semua jenis minuman adalah halal kecuali minuman yang memabukkan seperti arak
dan yang dicampur dengan benda-benda najis, sedikit atau banyak. Untuk
menentukan halal tidaknya suatu produk pangan, selain harus berasal dari bahan
pangan yang tidak diharamkan juga untuk bahan pangan halal yang diolah harus
diperhatikan cara penyembelihan, alat yang digunakan untuk menyembelih, alat
yang digunakan untuk mengolah dan menyajikan, bahan tambahan dan kemasan.
2. Beberapa produk
makanan dan minuman yang masih diragukan kehalalannya
1.Angciu
Ang ciu sering sekali dipakai dalam mengolah Sea Food (masakan ikan), Chinese Food (masakan Cina), Japanese Food (masakan Jepang), Bakmi ikan, Bakso ikan, dll. Ang ciu ini bermanfaat untuk menghilangkan bau amis pada masakan ikan, sekaligus mampu mempertahankan aroma ikannya. Istilah dalam bahasa Inggris untuk ang ciu ini bermakna Red Wine dan dalam bahasa Indonesia berarti anggur merah/arak merah. Oleh karena merupakan arak (wine), maka dipastikan ang ciu ini harom dikonsumsi oleh orang Islam.
Ang ciu sering sekali dipakai dalam mengolah Sea Food (masakan ikan), Chinese Food (masakan Cina), Japanese Food (masakan Jepang), Bakmi ikan, Bakso ikan, dll. Ang ciu ini bermanfaat untuk menghilangkan bau amis pada masakan ikan, sekaligus mampu mempertahankan aroma ikannya. Istilah dalam bahasa Inggris untuk ang ciu ini bermakna Red Wine dan dalam bahasa Indonesia berarti anggur merah/arak merah. Oleh karena merupakan arak (wine), maka dipastikan ang ciu ini harom dikonsumsi oleh orang Islam.
2.Emulsifier E471
Emulsifier banyak jenisnya. Yang cukup
terkenal dan sering dipakai adalah Lesitin dan E-number (Exxx).
Telah diketahui oleh banyak ilmuwan di bidang peternakan, bahwa E471 adalah emulsifier yang berasal dari Babi.
Hal ini insya Allooh dapat diketahui (dianalisis) dengan menggunakan
analisis PCR. Analisis ini cukup efektif dalam mendeteksi kandungan babi dalam
suatu bahan. Hampir dapat dipastikan apabila suatu bahan makanan mengandung
babi, maka tidak akan dapat lolos karena yang dideteksi adalah DNA babi.
3.
Lesitin
Lesitin merupakan salah satu bahan pengemulsi makanan.
Bahan ini dapat berasal dari bahan nabati (tumbuhan) dan dapat pula
dari bahan hewani.Bahan nabati yang paling sering dipakai dan disukai
karena kualitasnya adalah kedelai, sehingga digunakan istilah Soy Lechitine
atau Soya Lechitine (Soja Lechitine).Bahan hewani
yang paling sering dipergunakan adalah dari babi. Di samping karena kualitasnya
yang paling baik, juga karena harganya relatif murah.Hasil produk makanan yang
menggunakan lesitin babi sangat bagus, rasanya gurih, nikmat, teksturnya
lembut/ lunak, dll. Oleh karena teknologi makanan (bakery, dll) sudah
sedemikian maju, maka apabila lesitin yang dipakai oleh suatu perusahaan
berasal dari kedelai, maka mereka tidak akan mau ambil resiko produknya tidak
akan laku dijual (dihindari konsumen muslim dan para vegeterian).
Untuk itu, apabila mereka menggunakan kedelai, maka akan
langsung mencantumkan identitas ‘kedelai’ untuk mendampingi lesitin. Sehingga berhati-hatilah bila kita menjumpai suatu produk
yang hanya ditulis ‘lesitin’ saja, tanpa embel-embel soja, soy, atau soya,
karena bisa jadi lesitin tersebut berasal dari babi.
4.Rhum
Rhum adalah salah satu derivat alkohol yang dapat
digolongkan dalam kelompok khamer. Rhum sering
sekali terlibat dalam proses pembuatan roti (bakery).Jenis rhum yang paling
sering dipergunakan adalah rhum semprot dan rhum oles (Toffieco, Jamaica,
dll). Rhum amat sering pula dipakai dalam pembuatan roti Black
Forest.Di toko bahan roti, nama rhum ini sedemikian harum,
seharum baunya yang menyengat, sebagaimana umumnya bahan lain yang berasal dari
alkohol. Oleh karena termasuk dalam kategori khamr, maka umat
Islam dilarang menggunakan rhum ini.
5.
Lard
Lard adalah istilah khusus dalam bidang peternakan untuk
menyebutkan lemak babi. Bahan
ini sering sekali dimanfaatkan dalam proses
pembuatan kue/roti karena mampu membuat roti/kue menjadi lezat,
nikmat, renyah, lentur, dll.Oleh karena merupakan bahan yang berasal dari babi,
maka secara otomatis Lard ini dihukumi haram. Di Australia, salah seorang dosen
senior di Fakultas Peternakan UGM pernah menemukan tulisan Lard dengan huruf
Arab. Akan tetapi, tentunya meskipun ditulis dengan huruf Arab, tidak serta
merta menjadi Lard ini halal.
6.
Daging dan Jerohan Impor
Hati-hati ketika membeli produk daging beku di supermarket
(mall, dll). Sebelum membeli daging,
hendaklah kita tanyakan pada penjual (penjaga/pramuniaganya), dari manakah
daging beku tersebut berasal.Pemerintah negara Swizerland tidak mengijinkan
Syariat Islam maupun
Yahudi dalam penyembelihan ternak
diterapkan. Untuk itu, karena ternak (sapi, kambing, dll) tidak
disembelih sebagaimana Syariat Islam, maka daging tersebut menjadi harom dimakan.Lain hal dengan New Zealand (Selandia
Baru). Di negara tersebut Syariat Islam dalam penyembelihan telah ditegakkan.
Namun sayangnya, seringkali jerohannya tidak terawasi dengan baik dan sering
bercampur dengan produk harom.
7.
Cokelat Impor
Ketika kita mendapatkan oleh-oleh cokelat dari teman yang
pulang dari luar negeri terkadang kita sering terlalu senang dan kurang
berhati-hati. Tanpa membaca ingredients-nya (bahan baku), maka kita
sering langsung menyantapnya. Tentunya bukan cokelatnya yang diharomkan! Akan
tetapi, seringkali di beberapa negara di Eropa dan Amerika, produsen pembuat cokelat sering
mencampurkan alkohol, brandy, dll. Padahal kesemuanya itu jelas termasuk dalam kelompok khamr yang
diharamkan bagi umat Islam. Untuk itu, apabila kita temukan
dalam daftar ingredients-nya ada bahan yang harom, maka selaku umat
Islam yang taat pada Syariat Islam, maka makanan tersebut harus kita tinggalkan
(tidak kita santap).
8.
Roti Black Forest
Mutiara Dahlia, M.Kes, dosen program Tata Boga Universitas
Negeri Jakarta, dalam resep standarnya, penggunaan rhum memang tak dapat
dielakkan. Black
Forest merupakan jenis kue yang menggunakan rhum dalam kadar paling tinggi
dibandingkan jenis kue lainnya, yaitu sekitar 50 cc.
3.Produk hukum tentang pangan halal
Dalam
PP No. 69 tahun 1999 pasal 1, pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung
unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik
menyangkut bahan baku pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk
bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan irradiasi pangan
dan pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam. Makanan
yang halal adalah semua jenis makanan yang tidak mengandung unsur atau bahan
yang terlarang/haram dan atau diolah/diprosesmenurut agama Islam (Keputusan
bersama Menkes dan Menag No.
/me.kes/VIII/1985 dan No. 68 tahun 1985 pasal 1).
Perkembangan
peraturan perundang-undangan terkait pangan halal di Indonesia adalah sebagai
berikut :
1.Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 280/Menkes/Per/XI/1976 tentang Ketentuan Peredaran dan
Penandaan pada Makanan yang mengandung bahan
berasal dari Babi.
Pasal 2 :
1)
Pada wadah atau bungkus makanan yang diproduksi di dalam negeri maupun yang
berasal dari impor yang mengandung bahan yang berasal dari babi harus
dicantumkan tanda peringatan.
2)
Tanda peringatan tersebut yang dimaksud pada ayat (1) harus berupa gambar babi
dan tulisan yang berbunyi : “MENGANDUNG BABI” dan harus ditulis dengan huruf
besar berwarna merah dengan ukuran sekurangkurangnya Universe Medium Corps 12,
di dalam garis kotak persegi yang juga berwarna merah.
2.
Permenkes RI No. 76/Menkes/Per/III/78 tentang label dan Periklanan Makanan,
pasal 2 menyatakan bahwa : Kalimat, kata-kata, tanda lambang, logo, gambar dan
sebagainya yang terdapat pada label atau iklan harus sesuai dengan asal, sifat,
komposisi, mutu dan kegunaan makanan.
3.Surat
Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Kesehatan No. 427/Menkes/SKB/VIII/1985
dan No. 68/1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan.
Pasal 1
: Tulisan “halal” adalah tulisan yang dicantumkan pada label/penandaan yang
memberikan jaminan tentang halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam
Pasal 2
:Produsen yang mencantumkan tulisan “halal” pada label atau penandaan makanan
produknya bertanggungjawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk
agama Islam.
Pasal 4 :
1)
Pengawasan preventif terhadap ketentuan pasal 2 Keputusan Bersama ini dilakukan
oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Departemen Kesehatan RI, cq. Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
2)
Dalam tim penilaian pendaftaran makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini, diikutsertakan unsur Departemen Agama RI.
3)
Pengawasan di lapangan terhadap pelaksanaan ketentuan pasal 2 Keputusan Bersama
ini dilakukan oleh aparat Departemen Kesehatan RI.
4.
UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 214 ayat (2) penjelasan butir (d)
: Ketentuan lainnya misalnya pencantuman kata atau tanda halal yang menjamin
bahwa makanan dan minuman yang dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan
makanan.
5.
UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, pasal (34) ayat (1) :
Setiap orang yang
menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah
sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab
atas kebenaran peryataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan
tersebut.
Penjelasan pasal 34 ayat (1) :
Dalam ketentuan ini
benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya
dapat dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu
lainnya yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi mencakup pula proses
pembuatannya
6.
Keputusan Menkes RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal
pada Label Makanan dan perubahannya berupa Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
924/Menkes/SK/VII/1996, beserta peraturan pelaksanaannya berupa Keputusan
Dirjen POM No. HK. 00.06.3.00568 tentang Tata Cara Pencantuman Tulisan Halal
pada Label Makanan, yang antara lain menjelaskan :
a.
Persetujuan pencantuman tulisan “halal” pada label makanan diberikan oleh
Dirjen POM
b.
Produk makanan harus terdaftar pada Departemen Kesehatan RI
c.
Persetujuan Pencantuman label “halal” diberikan setelah dilakukan pemeriksaan
dan penilaian oleh Tim yang terdiri dari Departemen Kesehatan, Departemen Agama
dan MUI
d.
Hasil Penilaian Tim Penilai disampaikan kepada Komisi Fatwa MUI untuk dikeluarkan
fatwanya, dan akhirnya diberikan Sertifikat Halal
e.
Persetujuan Pencantuman “halal” diberikan oleh Dirjen POM berdasarkan sertifikat
Halal yang berdasarkan MUI
f.
Persetujuan berlaku selama 2 tahun sesuai dengan sertifikatnya
7.
UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
Pasal
7 butir (b) :
Pelaku usaha
berkewajiban memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa.
Pasal
8 ayat 1 butir (h) :
Pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal. Sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label.
8.
PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
a.
Pasal 10
i.
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut
“halal” bagi umat manusia, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut
dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label
ii.
Pernyataan tentang “halal” sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari label
b.
Pasal 11
i.
Untuk mendukung kebenaran pernyataan “Halal” sebagaimana dimaksud dalam pasal
10 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas
ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih
dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ii.
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Pedoman
dan Tata Cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama, dengan memperhatikan
pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang
tersebut.
c.
Pasal 59
Pengawasan terhadap
pelaksanaan ketentuan tentang label dan iklan dilaksanakan oleh Menteri
Kesehatan
d.
Pasal 60
i.
Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, Menteri
Kesehatan menunjuk pejabat untuk diserahi tugas pemeriksaan.
ii.
Pejabat pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih dan ditunjuk oleh
Menteri Kesehatan berdasarkan keahlian tertentu yang dimiliki.
iii.
Pejabat pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Kesehatan.
9.
Penjelasan PP No. 69 tahun 1999 pasal 11 ayat 1 menyatakan Pencantuman tulisan
halal pada dasarnya bersifat sukarela. Menurut Sampurno (2001), sanksi terhadap
pelanggaran ketentuan pancantuman label dapat dikenakan :
1.Pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
360.000.000,- untuk pelanggaran terhadap UU No. 7 tahun 1996 pasal 34 ayat (1).
2.Tindak
pidana penjara sampai 5 (lima) tahun atau denda sampai dua milyar rupiah untuk
pelanggaran terhadap UU No. 8 tahun 1999 pasal 8 ayat (1) butir h.
3.Tindakan
administratif terhadap pelanggaran PP No. 69 tahun 1999 yang meliputi :
Peringatan secara
tertulis
Larangan untuk
mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan
dari peredaran.
4. Standardisasi pangan
halal
Standarisasi
halal ini memiliki fungsi untuk memberikan kepastian, perlindungan, dan
ketenangan konsumen, terutama umat Islam, dari mengkonsumsi suatu produk yang
haram. Hal ini merupakan salah satu hak konsumen yang dilindungi dalam
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satunya
adalah pada pasal 4 (a) disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
Pasal ini menunjukkan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang
merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang yang
nyaman dikonsumsi olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim
adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agamanya, alias
halal. Selanjutnya, dalam pasal yang sama point (c) disebutkan bahwa konsumen
juga berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan atau jasa. Hal ini memberikan pengertian bahwa keterangan
halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar, atau telah teruji terlebih
dahulu. Dengan demikian, perusahaan tidak dapat serta merta mengklaim bahwa
produknya halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah ditentukan.
Standarisasi
produk halal juga sangat dibutuhkan oleh para produsen untuk menarik minat
konsumen Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ia juga penting
untuk meningkatkan daya saing serta untuk kebutuhan ekspor, terutama untuk
tujuan negara-negara muslim. Wujud dari standarisasi halal bagi produsen adalah
ia harus memiliki sertifikat halal. Namun, disini terdapat permasalahan dalam
pembuatan sertifikat halal. Yang mana para produsen merasa diberatkan dengan
biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat tersebut. Selain itu, hal
tersebut menimbulkan terhambatnya pertumbuhan investasi di industri makanan,
terutama bagi usaha skala kecil dan menengah.
5.Jaminan halal
Secara
umum Sistem Jaminan Halal didefinisikan sebagai sebuah sistem manajemen jaminan
proses poduksi halal produk-produk bersertifikat halal. Sedangkan secara
spesifik bagi perusahaan, Sistem Jaminan Halal adalah sebuah sistem yang
disusun dan dilaksanakan perusahan pemegang sertifikat halal dengan tujuan
untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sehingga produk yang
dihasilkan dapat dijamin kehalalannya. Pengembangan sistem jaminan halal
didasarkan pada konsep total quality management yang terdiri atas
empat unsur utama yaitu komitmen, kebutuhan konsumen, peningkatan tanpa
penambahan biaya, dan menghasilkan barang setiap waktu tanpa rework,
tanpa reject, dan tanpa inspection. Karena itu dalam prakteknya,
penerapan sistem jaminan halal dapat dirumuskan untuk menghasilkan suatu sistem
yang ideal, yaitu zero limit, zero defect dan zero risk (three
zero concept). Artinya material haram tidak boleh ada pada level
apapun (zero limit), tidak memproduksi produk haram (zero defect),
dan tidak ada resiko merugikan yang diambil bila mengimplementasikan sistem ini
(zero risk). Total Quality Management didefinisikan
sebagai sebuah sistem dimana setiap orang didalam setiap posisi dalam
organisasi harus mempraktekkan dan berpartisipasi dalam manajemen halal dan aktivitas
peningkatan produktivitas. Manajemen halal bermula dan berakhir dengan
pendidikan yang kontinyu (Apriyantono, 2001).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Makanan halal adalah makanan yang dibolehkan oleh agama dari segi
hukumnya dan makanan tersebut dapat diolah dengan baik dan benar menurut agama.
Minuman halal adalah minuman yang dibolehkan oleh agama dari segi hukumnya dan
minuman tersebut dapat diolah dengan baik dan benar menurut agama.
2. Jaminan
pangan halal dan baik adalah mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing produk pangan lokal Indonesia baik di dalam
maupun di luar negeri.
3.
Pangan halal adalah Pangan yang memiliki cita rasa baik, sanitasi higine baik
dan kandungan gizinya yang baik. Pangan yang baik berkaitan dengan jaminan
bahwa pangan yang diproduksinya bergizi, rasanya enak, warnanya menarik,
teksturnya baik, bersih, bebas dari hal-hal yang membahayakan tubuh seperti
kandungan mikroorganisma patogen, komponen fisik, biologis, dan zat kimia
berbahaya. Baik (Thayyib) adalah lezat, baik, sehat dan menentramkan.
B.
Saran
Makanan dan minuman tidak dapat sembarangan di produksi dan
di konsumsi. Sebaiknya harus di pastikan terlebih dahulu apakah makanan itu
halal ataukah haram.
Saran agar
masyarakat tidak mengkonsumsi makanan haram yaitu;
1. menindak lanjuti produsen yang produksi
makanan haram
2. member sanksi terhadap orang yang mengkonsumsi
makanan dan minuman haram
3. member label
halal terhadap yang halal,dan tidak member label halal terhadap yang haram.
4. lebih berhati-hati dalam memilih ataupun
mengkonsumsi produk pangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
Ali (2007). Tinjauan Islam terhadap Makanan dan Minuman. Tersedia di
http://www.unpas.ac.id/file:///D:/aims/pangan%20halal/pangan%20dalam%20pandangan%20islam.htm.
Diakses 6 Desember 2007
Al-Qur’an dan Terjemahnya. 1978. Departemen Agama RI. Jakarta
.
Darwanto, D.H. dan Ratnaningtyas, P.Y. (2007). Kesejahteraan
Petani Dan Peningkatan Ketersediaan Pangan: Sebuah Dilemma?. Jurnal Ekonomi
Rakyat. Tersedia http://www.ekonomi rakyat.org./pangan%20halal/kesejahteraan%20n%20keter%20pangan.htm.
diakses 6 Desember 2007
Girindra, Aisjah. (2006). Menjamin Kehalalan dengan Label
Halal. Persfektif Food Review Indonesia Vol.1 No 9. hal.12-13. Bogor.
Hariyadi, P.
(2006). Mutu dan Ingridien Pangan. Editorial Food Review Indonesia Vol.1
No 5. Bogor
Anonim- (2006). Halal dan Sekaligus
Praktis. Editorial Food Review Indonesia Vol.1 No 9. Bogor.
Santoso, Umar.
(2006). Industri Pangan Halal : Bagaimana Prospeknya?. Editorial Food
Review Indonesia Vol.1 No 5. Bogor.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete